11 Tahun Muna Barat: Tanah Sudah Memberi, Laut Sudah Mengabdi, Giliran Pemimpin Membuktikan Diri

Tokoh muda Muna Barat, Muhammad Adi Berti. Foto: Dok. Istimewa.

Oleh: Muhammad Adi Berti

Lebih dari separuh keluarga di Muna Barat menggantungkan hidup dari tanah dan laut. Bayangkan, dari hampir 30 ribu rumah tangga, sekitar 17 ribu atau enam dari setiap sepuluh keluarga terlibat langsung dalam kegiatan pertanian, peternakan, atau perikanan. Angka ini menjadikan Muna Barat sebagai daerah dengan pelaku agrikultur terbanyak di Sulawesi Tenggara. Namun, besarnya jumlah pelaku belum diimbangi dengan kekuatan produksi yang memadai.

Data BPS Sulawesi Tenggara 2025 menunjukkan bahwa potensi agrikultur Muna Barat sebenarnya sangat besar. Produksi jagung masih berada pada angka 17.600 ton, jauh tertinggal dari Konawe Selatan yang telah menembus 29.000 ton. Perikanan tangkap mencapai 13.600 ton, tetapi distribusinya belum berjalan optimal. Populasi sapi potong lebih dari 21 ribu ekor, namun aktivitas industrinya belum terasa. Semua ini menggambarkan kekuatan laten yang belum dikelola secara maksimal.

Sudah saatnya sektor pertanian, perikanan, dan peternakan digerakkan secara terintegrasi agar saling menopang dan membentuk sistem produksi yang berkelanjutan dan tangguh.

Budidaya Jagung untuk Peningkatan Nilai Kawasan Hutan

Muna Barat memiliki kawasan hutan negara seluas 9.200 hektare menurut BPS 2025. Lahan ini memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan secara sah bagi budidaya jagung, tanpa mengorbankan fungsi ekologis hutan.

Jika satu petani mengelola seperlima hektare dengan hasil hampir lima ton jagung, maka pemanfaatan 920 hektare saja dapat memberdayakan lebih dari 5.000 petani dan menghasilkan tambahan produksi 4.500 ton. Jika luasan ditingkatkan menjadi 3.220 hektare, potensi keterlibatan petani mencapai 18 ribu orang dan produksi tambahan mendekati 16 ribu ton.

Regulasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2021 telah membuka akses masyarakat untuk mengelola hutan melalui skema perhutanan sosial. Kini, individu, kelompok tani, koperasi, hingga lembaga desa memiliki dasar hukum untuk ikut ambil bagian. Pemerintah bahkan menargetkan 1,9 juta hektare hutan untuk agroforestry, sebuah kebijakan nasional yang sejalan dengan rencana pengembangan di Muna Barat.

Jika peluang ini dimanfaatkan secara serius dan terencana, Muna Barat berpotensi mendorong produksi jagung hingga 32.600 ton per tahun dan tampil sebagai produsen terbesar di Sulawesi Tenggara.

Zona Ekosistem Kelautan dan Perikanan yang Terintegrasi

Garis pantai Muna Barat menghadap langsung ke Laut Banda dan Teluk Tiworo, menjadikan kawasan pesisir sebagai aset strategis dalam pengembangan ekonomi biru. Tiworo Kepulauan, Maginti, dan Tiworo Tengah telah menunjukkan hasil tangkapan dan budidaya laut yang tinggi. Ketiga daerah ini ideal menjadi pusat produksi kelautan, sedangkan Tiworo Utara dan Barangka berperan sebagai pusat distribusi, logistik, dan pengolahan hasil.

Saat ini, produksi perikanan Muna Barat telah melampaui 10 ribu ton per tahun. Namun tanpa infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, cold storage, dan sistem budidaya yang memadai, potensi tersebut tidak akan berkembang optimal. Jika fasilitas ini dibangun, produksi bisa meningkat menjadi 16 ribu ton. Studi FAO menunjukkan bahwa tanpa fasilitas rantai dingin, 30 persen hasil tangkapan akan hilang. Itu berarti sekitar 3.000 ton ikan terbuang percuma setiap tahun. Kehadiran cold storage dan Unit Pengolahan Ikan akan memangkas angka kerugian menjadi hanya 10 persen, menyelamatkan lebih dari 2.000 ton ikan setiap tahun.

Dampaknya sangat signifikan, bukan hanya dari sisi kuantitas tetapi juga dari sisi nilai. Dengan mutu produk yang lebih baik, harga jual ikan bisa naik dari delapan ribu menjadi dua belas hingga lima belas ribu rupiah per kilogram. Jika dihitung secara konservatif, dengan selisih empat ribu rupiah per kilogram dari tambahan produksi sebesar 5.400 ton, potensi nilai tambahnya mencapai 21 miliar rupiah per tahun. Dalam lima tahun, nilainya bisa melampaui 100 miliar rupiah.

Inilah mengapa penting bagi Muna Barat untuk mendorong pengembangan zona kelautan dan perikanan yang terintegrasi. Dari laut, kita bisa membangun masa depan ekonomi biru yang jauh lebih menjanjikan.

Limbah dan Lahan Kosong untuk Pakan Ternak

Salah satu hambatan dalam pengembangan peternakan di Muna Barat adalah keterbatasan pakan yang masih bergantung pada hijauan alami dan jerami padi yang rendah nutrisi. Padahal, limbah pertanian yang melimpah dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan alternatif yang lebih berkualitas.

Produksi jagung mencapai lebih dari 17 ribu ton dan padi sekitar 5.400 ton setiap tahun. Dari jumlah ini, brangkasan jagung diperkirakan mencapai 35 ribu ton dan jerami padi sekitar 8.200 ton. Jika digabungkan, terdapat 43 ribu ton limbah pertanian setiap tahunnya. Dengan mengolah sepertiganya saja menjadi pakan kering, maka tersedia 12.960 ton bahan kering yang cukup untuk memberi makan hampir 8.600 ekor sapi. Jika efisiensinya ditingkatkan hingga 40 persen, potensi ini bisa mencukupi kebutuhan pakan untuk sekitar 11.500 ekor sapi.

Jika budidaya jagung dikembangkan di kawasan hutan seluas 3.220 hektare, hasil panen bisa mencapai 16 ribu ton dengan limbah tambahan sekitar 32 ribu ton. Dengan kandungan bahan kering sebesar 30 persen, tersedia tambahan 9.600 ton pakan yang cukup untuk 6.400 ekor sapi. Digabungkan dengan limbah pertanian yang sudah ada, total pakan yang tersedia mampu mendukung pengembangan ternak hingga 17.900 ekor.

Untuk jangka panjang, pemanfaatan limbah harus dibarengi dengan pengembangan hijauan pakan di lahan kosong. Tiworo Utara memiliki 2.000 hektare tegalan dan semak, 1.800 hektare lahan untuk king grass, dan 465 hektare lahan terbengkalai yang cocok untuk ditanami Indigofera. Dengan pengelolaan maksimal, Tiworo Utara bisa menjadi pusat pengembangan pakan ternak di Muna Barat.

Langkah ini akan memperkuat ketahanan peternakan rakyat, mengurangi ketergantungan pada pakan pabrikan, dan menjadikan sektor ini lebih mandiri dan tahan banting.

Stabilitas Pemerintahan adalah Kunci

Muna Barat memiliki segala yang dibutuhkan untuk tumbuh menjadi pusat agrikultur dan ekonomi biru. Lahan terbuka luas, laut kaya sumber daya, dan limbah pertanian yang jika dikelola dapat menjadi berkah ekonomi. Namun, sebesar apa pun potensinya, tanpa kepemimpinan yang stabil dan arah kebijakan yang jelas, semuanya akan tetap diam di tempat.

Sejak 2014, Muna Barat belum benar-benar merasakan pemerintahan yang utuh. Pemerintah definitif hanya berjalan sekitar empat tahun. Selebihnya diisi oleh pejabat sementara dengan kewenangan terbatas. Pergantian kepemimpinan yang terus berlangsung menciptakan ketidakpastian dan stagnasi. Banyak program besar tidak berjalan karena kekurangan eksekusi dan kontinuitas.

Gagasan integrasi sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sudah lama ada. Namun tanpa pemimpin yang konsisten dan hadir secara nyata, semua tinggal menjadi wacana di atas kertas. Yang dibutuhkan adalah kehadiran pemerintah yang membuka akses legal untuk pengelolaan hutan, membangun infrastruktur pelabuhan dan fasilitas pendingin, serta mendampingi peternak mengolah limbah menjadi pakan.

Douglass North dalam bukunya Institutions, Institutional Change, and Economic Performance (1990) menyatakan bahwa pembangunan memerlukan fondasi kelembagaan yang stabil. Bukan hanya aturan yang penting, tetapi kepemimpinan dan arah yang konsisten juga menentukan. Ketika pemimpin terus berganti, perencanaan menjadi terputus, program berhenti, dan masyarakat tidak mendapatkan hasil yang nyata.

Karena itu, Muna Barat tidak bisa terus berjalan tanpa kepemimpinan yang kuat dan visi yang jelas. Kita membutuhkan pemerintahan yang fokus, berpihak pada rakyat, dan berani mengambil keputusan penting. Jika hal ini diwujudkan, Muna Barat memiliki semua syarat untuk menjadi kekuatan ekonomi baru yang benar-benar mensejahterakan masyarakat.


*Penulis adalah tokoh muda Muna Barat

error: Content is protected !!