Daerah  

Menyelami Tradisi Bajo: Desa Santiri, Surga Tersembunyi di Laut Muna Barat

Seorang anggota suku Bajo dari Desa Santuri memainkan gambus di antara akar bakau di bebatuan. Foto: Dok. sultra.jadesta.com.

Muna Barat – Di tengah luasnya Laut Muna Barat, Desa Santiri yang terletak di Kecamatan Tiworo Utara, berdiri teguh seperti permata tersembunyi yang dikelilingi oleh samudera kebudayaan dan sejarah tak ternilai.

Seperti pulau-pulau kecil yang melayang di tengah lautan luas, Desa Santiri menyimpan potensi besar yang masih jarang diketahui dunia.

Namun, seiring waktu, desa ini semakin menunjukkan keindahan alam dan kekayaan tradisinya yang tak terhingga.

Pulau Balu, tempat Desa Santiri berpijak, adalah rumah bagi suku Bajau atau suku Bajo yang sudah lama hidup berdampingan dengan laut.

Masyarakat Bajo, dengan cara hidup yang terjalin erat dengan alam, menumbuhkan identitas yang kuat, berakar dalam tradisi yang mengalir dari generasi ke generasi.

Keunikan desa ini terletak pada keseimbangan yang harmonis antara kehidupan darat dan laut, dua dunia yang saling bergantung untuk menciptakan kedamaian.

Bagaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, daratan dan lautan di Desa Santiri adalah dua dunia yang saling melengkapi.

Wilayah daratan adalah rumah bagi masyarakat Bajo senior yang pertama kali menetap, sementara pesisir laut menjadi tempat tinggal bagi generasi penerus yang terus menjaga tradisi, namun juga merangkul kemajuan zaman.

Dengan luas 17,88 km², Desa Santiri tak hanya dikenal karena potensi lautnya yang melimpah, tetapi juga karena budaya yang kaya dan beragam. Seperti gelombang yang tak pernah berhenti datang dan pergi, budaya Bajo terus mengalir, menghadapi tantangan dari dunia luar tanpa pernah mengurangi semangatnya.

Salah satu tradisi yang paling dikenang adalah Silat Manca, seni bela diri khas Bajo yang memadukan gerakan lembut namun mematikan. Gerakannya bak tarian yang mengalir, namun tetap memancarkan ketegasan dan kekuatan.

Masyarakat Santiri dengan bangga menggelar tradisi Manca, sebuah usaha untuk melestarikan seni yang telah menjadi bagian dari warisan hidup mereka.

Tak hanya itu, Desa Santiri juga dikenal dengan Tari Ngigal, tarian adat yang memukau, yang dipentaskan untuk menyambut tamu penting atau saat acara tertentu.

Tari Ngigal menggambarkan harmoni tubuh, alam, dan laut, yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat Bajo. Seperti ombak yang bergulung menghantam pantai, tari ini menciptakan gelombang keindahan yang memikat hati setiap penonton yang hadir.

Namun, yang tak kalah menarik adalah Iko-iko, pertunjukan penceritaan panjang yang mengisahkan sejarah suku Bajo dalam bahasa Bajo. Durasi penceritaannya bisa berlangsung dari 30 menit hingga dua hari, dengan setiap cerita yang diungkapkan menyimpan nilai historis yang mendalam, mengikat generasi muda dengan akar budaya mereka.

Seperti pohon yang akarnya menjalar jauh ke dalam tanah, Iko-iko menghubungkan masa lalu dengan masa depan, menjaga agar identitas Bajo tetap hidup meski diterjang arus modernitas.

Di balik kekayaan budaya tersebut, Desa Santiri juga menyimpan keindahan alam yang luar biasa. Laut di sekitar Pulau Balu adalah surga bagi para penyelam, dengan terumbu karang yang mempesona dan kehidupan bawah laut yang sangat beragam.

Namun, lebih dari itu, desa ini memikat dengan cara unik mereka dalam memancing yang masih menggunakan alat tradisional, seperti kayu atau bambu untuk memancing udang pasir, serta layang-layang yang terbuat dari daun kolope untuk menangkap ikan.

Aktivitas ini lebih dari sekadar mencari makan, namun juga menjadi lambang kehidupan yang sangat dekat dengan alam.

Desa Santiri juga dikenal karena pengobatan tradisionalnya yang menggunakan doa dan ritual sebagai bagian dari proses penyembuhan.

Masyarakatnya meyakini bahwa alam dan roh leluhur memiliki peran besar dalam menjaga kesehatan dan kesejahteraan mereka. Seperti pohon yang tumbuh di tepi laut, mereka merawat tubuh dan jiwa mereka dalam harmoni yang selaras dengan alam di sekitarnya.

Untuk mencapai Desa Santiri, pengunjung hanya perlu menempuh perjalanan sekitar 25 menit dari ibukota Kabupaten Muna Barat, Laworo.

Dari Bandar Udara Sugimanuru, perjalanan dilanjutkan dengan transportasi darat selama 30 menit hingga pelabuhan Tondasi. Dari sana, perjalanan diteruskan dengan transportasi laut selama 5 menit, membawa pengunjung langsung ke pelabuhan terdekat di Desa Santiri.

Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, namun sebuah petualangan yang mengajak wisatawan menyelami kehidupan masyarakat Bajo dan keindahan alam yang mempesona.

Keunikan dan potensi Desa Santiri semakin menarik perhatian banyak pihak. Penetapan desa ini sebagai desa wisata pada tahun 2022 oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Muna Barat menjadi langkah besar untuk mengembangkan potensi pariwisata daerah ini.

Langkah ini bukan hanya bertujuan untuk memajukan sektor pariwisata, tetapi juga untuk menjaga agar budaya dan tradisi yang ada di desa ini tetap hidup. Desa Santiri bagaikan batu besar yang sedang dipoles untuk memancarkan kilauannya kepada dunia.

Bagi para wisatawan yang datang, Desa Santiri menawarkan berbagai oleh-oleh khas, seperti kerajinan tangan dari kulit kerang yang dibersihkan dan dibentuk menjadi barang-barang indah, gelang dari akar bahar, serta handicraft rajutan khas wanita Bajo.

Souvenir-souvenir ini mencerminkan kehidupan harmonis yang terjalin antara manusia dan alam. Desa ini adalah sebuah kotak harta karun penuh kenangan indah yang siap dibawa pulang oleh siapa saja yang berkunjung.

Namun, di balik keindahan tersebut, tantangan tetap ada. Sebagai desa yang dikelilingi lautan, Santiri rentan terhadap dampak perubahan iklim dan kerusakan alam.

Masyarakat Bajo di Desa Santiri harus menjadi penjaga alam mereka, seperti nelayan yang menjaga jaringnya agar tak terputus oleh gelombang. Di sinilah pentingnya kesadaran untuk menjaga kelestarian alam dan budaya, agar keduanya tetap dapat diwariskan pada generasi mendatang.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!