Muna – Seperti gelombang tsunami yang muncul dari samudra dan menyapu daratan tanpa ampun, serangan Jepang terhadap Pearl Harbor pada 7 Desember 1941 menandai awal badai yang mengguncang Asia-Pasifik.
Indonesia, yang kala itu masih dalam genggaman Belanda, tak luput dari hempasan gelombang itu. Pada tahun 1942, tanah ini jatuh ke tangan Jepang, dan seperti akar pohon yang merambat diam-diam, mereka menanamkan jejaknya hingga ke sudut-sudut terpencil, termasuk Pulau Muna.
Matarawa: Benteng di Tengah Kabut Perang
Di tengah kancah peperangan yang berkobar, Desa Matarawa, Kecamatan Watopute, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, menjelma menjadi salah satu pijakan strategis Jepang. Seperti elang yang bertengger di puncak tebing, Jepang melihat Matarawa sebagai posisi ideal untuk mengintai musuh dan memperkokoh cengkeraman mereka di wilayah ini.
Namun, pemilihan Matarawa bukan sekadar kebetulan. Seperti seorang penjahit yang memilih kain terbaik untuk menjahit baju perang, Jepang menemukan di desa ini semua yang mereka butuhkan—tanah berbukit sebagai benteng alami, aliran air yang tak pernah kering sebagai sumber kehidupan, serta jalur darat yang menghubungkan berbagai titik penting. Matarawa pun disulap menjadi sangkar besi, tempat mereka merancang strategi dalam bayang-bayang perang.
Namun, di balik pembangunan itu, rakyat Matarawa tak lebih dari benih padi yang dipanen sebelum waktunya—dipaksa bekerja, kehilangan kebebasan, dan hidup dalam bayang-bayang ancaman.
Jejak Besi dan Batu: Infrastruktur Militer Jepang di Matarawa
22 September 1942 menjadi titik balik ketika tentara Jepang datang bagaikan kawanan burung gagak yang turun ke ladang, membawa cetak biru untuk menjadikan Matarawa sebagai benteng perang. Mereka membangun:
• Bungker-bungker yang menggali perut bumi, menjadi sarang perlindungan dan mata-mata dalam kegelapan.
• Lapangan terbang di Desa Kusambi, Kecamatan Kusambi, Kabupaten Muna Barat yang bersebelahan dengan Matarawa—kini Bandara Sugimanuru—menjadi landasan bagi burung-burung besi yang membawa kehancuran.
• Jalan-jalan yang membelah tanah seperti urat nadi, menghubungkan titik-titik pertahanan.
• Sumur-sumur air, seperti oase di tengah gurun, memastikan pasukan tetap bertahan di tengah peperangan.
Setiap jalan yang mereka bangun bukan sekadar jalur biasa, melainkan urat-urat besi yang menghubungkan strategi perang mereka. Bungker-bungker yang berdiri kokoh saling terhubung, seperti akar pohon beringin yang merayap ke segala arah, menciptakan labirin pertahanan yang sulit ditembus.
Matarawa dalam Bayang-Bayang Derita
Ketika Jepang pertama kali menginjakkan kaki di Muna, mereka datang dengan janji kemerdekaan dari kolonialisme Belanda. Namun, janji itu tak lebih dari topeng yang menutupi wajah tirani baru. Rakyat Muna, yang sebelumnya berada dalam cengkeraman Belanda, kini berpindah ke jeruji yang berbeda.
Romusha—buruh paksa—adalah batu-batu yang dipahat untuk membangun jalan perang Jepang. Dari fajar hingga malam, mereka bekerja seperti pohon yang diperas getahnya hingga kering. Tanpa makanan yang cukup, tanpa istirahat yang layak, dan dengan ancaman hukuman yang selalu mengintai, mereka terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tiada akhir.
Tak hanya tenaga yang terkuras, tetapi juga ruh budaya yang perlahan meredup. Jika dulu Matarawa bergema dengan suara modero dan linda, kini hanya ada derap langkah berat dan rintihan sunyi. Tari-tarian yang dulu menjadi napas budaya kini tinggal bara kecil yang hampir padam, tertiup angin penjajahan.
Dua Sisi Pedang: Luka dan Warisan yang Tertinggal
Pendudukan Jepang berakhir seperti badai yang akhirnya mereda, tetapi jejaknya tetap terpatri dalam tanah Matarawa. Dari reruntuhan penderitaan, beberapa hal tetap bertahan.
Meski Jepang dikenal dengan tangan besinya, mereka juga meninggalkan warisan dalam bentuk pendidikan. Volkschool berdiri di berbagai distrik untuk mengajarkan dasar-dasar membaca dan menulis, sementara Vervolgschool di Raha, pusat Kabupaten Muna, memberi kesempatan bagi anak-anak untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi.
Meskipun berada dalam pengawasan ketat, sekolah-sekolah ini menjadi celah kecil di balik dinding kediktatoran, membuka pintu bagi masyarakat Muna untuk mengenal aksara dan kedisiplinan.
Tak hanya itu, pola disiplin kerja yang diterapkan Jepang, meski dilandasi pemaksaan, secara tidak langsung menanamkan kebiasaan baru dalam tatanan sosial masyarakat—kerja yang lebih terstruktur dan terorganisir.
Saksi Bisu yang Masih Berdiri
Hari ini, jejak sejarah Matarawa masih terukir dalam sunyi. Bungker-bungker yang dulu menjadi perisai kini ditinggalkan, perlahan dikikis oleh waktu dan alam. Namun, bagi mereka yang mau mendengar, setiap reruntuhan memiliki kisahnya sendiri.
Dari dentuman Pearl Harbor yang mengguncang dunia hingga suara langkah para romusha yang menapak di tanah Matarawa, sejarah mengajarkan bahwa perang bukan hanya soal bentrokan senjata di medan laga. Kadang, ia merayap dalam sunyi, menjalar hingga ke desa-desa kecil, menelusup ke dalam kehidupan rakyat jelata, meninggalkan luka yang tetap bertahan jauh setelah dentuman terakhir mereda.
Kesimpulan: Matarawa dalam Ingatan Sejarah
Matarawa bukan sekadar titik di peta, melainkan satu halaman dalam kitab sejarah yang tak boleh dilupakan. Antara 1942–1945, desa ini menjadi papan catur bagi strategi perang Jepang, tempat di mana besi dan beton ditanam dengan keringat serta air mata rakyat.
Namun, dari segala penderitaan, selalu ada pelajaran yang bisa dipetik. Sejarah ini menjadi pengingat bahwa perang tak hanya tentang dentuman meriam dan letusan peluru, tetapi juga tentang rakyat kecil yang tersapu dalam badai.
Dan meski masa lalu tak bisa diubah, ingatan tentangnya akan tetap hidup—sebagai pelita yang menerangi jalan, agar kesalahan yang sama tak terulang kembali.
Sumber:
Tulisan ini disusun berdasarkan penelitian oleh Sariabina, Hayari, dan Sarman dalam jurnal “Nipo di Matarawa Muna, Tahun 1942–1945”, yang dipublikasikan dalam Jurnal Sorume.
Editor: Denyi Risman