OPINI: Dominus Litis dan Kewenangan Penegak Hukum

La Ode Muhram Naadu. Foto: Dok. Istimewa.

Oleh: Laode Muhram Naadu

Kendari – Koordinasi antar lembaga negara, khususnya penegak hukum, masih menjadi pekerjaan rumah terbesar pemerintahan saat ini dalam hal reformasi hukum. Terkait hal ini, hubungan antara penyidik dan penuntut umum sering diwarnai perselisihan karena penyidik merasa memiliki kedudukan yang setara dengan penuntut umum.

Di sisi lain, penuntut umum mempunyai posisi yang cukup sentral sebagai salah satu gerbang proses peradilan pidana, di mana berdasarkan tugas dan wewenangnya, jaksa penuntut umum, setelah mempelajari dan meneliti suatu berkas perkara yang diajukan oleh penyidik, dapat menyimpulkan apakah alat bukti dalam suatu perkara telah terpenuhi dan sesuai dengan peraturan di dalam KUHAP.

Jika terpenuhi, jaksa akan mengajukan penuntutan ke Pengadilan Negeri. Oleh karena itu, penuntut umum dipandang memiliki posisi yang sentral dalam pembuktian suatu perkara di persidangan.

Salah satu prinsip yang dikenal dalam tahap penuntutan adalah dominus litis. Dominus litis berasal dari bahasa Latin, di mana dominus berarti pemilik, sedangkan litis berarti perkara.

Jaksa sebagai dominus litis memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu perkara akan dilanjutkan ke tahap penuntutan atau dihentikan, mengendalikan proses penuntutan di pengadilan—termasuk pemilihan dakwaan dan strategi hukum yang digunakan—serta memutuskan apakah akan mengajukan banding atas putusan pengadilan yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan.

Dengan demikian, asas dominus litis menegaskan bahwa tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain penuntut umum, yang bersifat absolut dan monopoli. Pasalnya, penuntut umum menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan dalam penuntutan dan penyelesaian perkara pidana.

Berangkat dari pemahaman bahwa dominus litis adalah pengendali perkara, maka sejauh mana tahapan proses pemeriksaan dapat dipandang sebagai dominus litis Kejaksaan? Pertanyaan ini muncul sebagai konsekuensi atas fakta bahwa hubungan antara Kepolisian dan Kejaksaan pada tahapan penyidikan hanya sebatas koordinasi fungsional.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menerapkan prinsip dominus litis atau kewenangan mutlak yang diberikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia dalam proses penanganan perkara pidana, meskipun prinsip tersebut telah diakui secara universal.

Hal ini tercermin dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara independen.

Wacana terkini menyebutkan bahwa Rancangan KUHP akan mengakomodasi asas dominus litis. Hal ini berpotensi merusak sistem penegakan hukum yang selama ini berlaku. Asas tersebut dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara institusi dan lembaga negara, khususnya Kepolisian dan Kejaksaan. Penerapan asas dominus litis mencuat dalam wacana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan dan RKUHAP. DPR telah menyepakati keduanya masuk dalam 41 Prolegnas Prioritas 2025.

RUU Kejaksaan yang baru memberikan kekuasaan yang besar kepada Kejaksaan Agung, di antaranya menyebutkan bahwa jaksa memiliki kewenangan dalam bidang intelijen, seperti menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum.

Namun, perluasan kewenangan untuk melakukan penyelidikan justru berisiko menimbulkan tumpang tindih kewenangan, mengingat penyelidikan secara profesional dan proporsional telah dijalankan oleh Polri.

Perluasan kewenangan Kejaksaan melalui penerapan prinsip dominus litis, yang berarti “pemilik perkara”, diatur dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP serta Peraturan Jaksa Agung (Perja) No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Meskipun prinsip dominus litis telah diakui secara universal, penerapannya dalam KUHAP tidak bersifat mutlak bagi Kejaksaan dalam proses penanganan perkara hingga tingkat penyelidikan secara umum. Dalam praktiknya, asas ini hanya diterapkan oleh Kejaksaan pada tindak pidana khusus, seperti penyelidikan tindak pidana korupsi.

Kewenangan ini didasarkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang menyebutkan bahwa Kejaksaan merupakan lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, yang dilaksanakan secara independen.

Oleh karena itu, dalam praktiknya, terdapat pembatasan yang bersifat proporsional dalam tingkat penyelidikan, karena kewenangan penuh dalam penyelidikan berdasarkan undang-undang diberikan kepada Polri sebagai lembaga penegak hukum.

Penambahan otoritas jaksa yang berlebihan sangat berpotensi melahirkan lembaga super body dan dapat menjadi celah penyalahgunaan wewenang apabila tanpa mekanisme pengawasan yang cukup. Konsep check and balance, yang seharusnya menjadi kunci utama dalam mengakselerasikan mekanisme pengawasan dan pengendalian antar-lembaga, harus tetap terjaga.

Kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan harus dipisahkan secara proporsional agar dapat dijalankan secara seimbang dan tidak berlebihan, guna mencegah terbentuknya lembaga yang memiliki kekuatan berlebih (over power) atau menjadi super body di antara lembaga penegak hukum lainnya.

Jika kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan tidak dipisahkan dengan jelas, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas menjadi sulit dilakukan. Akibatnya, prinsip check and balance menjadi lemah, celah penyalahgunaan wewenang semakin besar, dan efektivitas penyelidikan terganggu akibat tumpang tindih kewenangan.

RUU ini seharusnya didasarkan pada prinsip pembagian kewenangan yang proporsional. Setiap lembaga penegak hukum harus memiliki batasan dan peran yang jelas agar tidak terjadi tumpang tindih yang menghambat penegakan hukum, sehingga dapat mewujudkan sistem peradilan di Indonesia yang lebih transparan dan akuntabel.

Seyogyanya, pemberian kewenangan kepada seluruh struktur kelembagaan di negeri ini harus merujuk kembali pada struktur ketatanegaraan. Struktur ketatanegaraan di Indonesia menganut esensi pemisahan kekuasaan (separation of power), yang bertujuan agar lembaga negara tidak saling menegasi peran dan tidak ada lembaga yang superior. Sebaliknya, desain kelembagaan negara harus diarahkan pada keharmonisan dalam rangka mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penerapan asas dominus litis harus diakui dapat memicu ketidakharmonisan antara Kejaksaan dan Polri. Penguatan peran Kejaksaan melalui asas ini, tanpa gambaran yang jelas, berisiko menimbulkan persepsi bahwa Polri berada di bawah Kejaksaan. Padahal, selama ini koordinasi antar-kedua lembaga berjalan tanpa masalah yang cukup serius hingga harus diselesaikan dengan penguatan Kejaksaan.

Potensi kelemahan dari diberlakukannya dominus litis dalam RKUHP dan revisi UU Kejaksaan mencakup lima aspek, yaitu potensi penyalahgunaan kekuasaan, kurangnya perlindungan bagi korban, minimnya partisipasi masyarakat, ketidakseimbangan dalam sistem peradilan, dan kurangnya akuntabilitas.

Untuk mengatasi kelemahan ini, beberapa rekomendasi perlu dipertimbangkan dalam RKUHP, seperti penguatan peran korban, pengawasan yang lebih ketat, transparansi dalam proses penuntutan, dan keseimbangan kewenangan antar-lembaga. Reformasi ini harus mengakomodasi kepentingan semua pihak guna memastikan bahwa RKUHP menjadi instrumen hukum yang lebih adil, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.


*) Penulis adalah advokat muda Sulawesi Tenggara

error: Content is protected !!