Baubau – Siapa sangka, di balik pagar kokoh dan papan nama bertuliskan “Polsek Sorawolio”, tersimpan tawa ceria dan semangat belajar puluhan anak. Bukan pelaku kriminal yang dibina, melainkan 60 santri cilik yang setiap sore menapaki jalan sunyi menuju pemahaman Al-Qur’an. Inilah potret baru institusi kepolisian yang lahir bukan dari rotan atau borgol, tetapi dari mushola kecil dan sajadah bersahaja.
Terletak di jantung Kelurahan Karya Baru, Kecamatan Sorawolio, Kota Baubau, Polsek Sorawolio melahirkan inisiatif yang melampaui fungsi formalnya. Sejak Juli 2024, halaman kantor polisi yang biasanya menjadi tempat apel dan parkir kendaraan patroli kini dipenuhi suara anak-anak melafalkan ayat suci. Sebanyak 60 anak, terdiri dari 55 siswa SD dan 5 siswa SMP, mengikuti kegiatan Taman Pengajian Al-Qur’an (TPQ) yang diinisiasi langsung oleh AIPTU M. Arip Pelu, Kanit Reskrim Polsek Sorawolio.
“Polisi selalu identik dengan ketegasan dan penindakan. Tapi saya percaya, pendekatan terbaik dimulai dari hati. Anak-anak ini bukan hanya murid, mereka adalah jembatan kepercayaan antara polisi dan masyarakat,” ujar Arip saat ditemui di sela-sela pengajian, mengenakan baju koko putih dan peci hitam yang menggantikan seragam dinasnya.
Ia tidak hanya melempar ide. Arip terjun langsung mengurus perizinan, menyusun kurikulum, menjalin kerja sama dengan KUA Sorawolio, hingga merekrut guru ngaji yang sebagian besar adalah mahasiswa lokal. Semua dilakukan dengan semangat sukarela. Mushola kecil yang dulu sepi kini hidup, bukan oleh ceramah keras, tetapi oleh bisikan lembut huruf hijaiyah dari mulut anak-anak yang belum genap baligh.

Kapolsek Sorawolio, IPDA Rahmad Taufik, mengakui bahwa langkah Arip membawa wajah baru bagi institusi yang dipimpinnya. “Ini bukan soal pencitraan, ini soal membentuk kesadaran baru. Polisi harus hadir bukan hanya saat masalah muncul, tetapi juga dalam mencegah masalah melalui pendekatan sosial dan spiritual,” ungkapnya.
Tiap sore selepas Asar, suasana Polsek berubah drastis. Tidak ada suara sirene atau aba-aba baris-berbaris. Yang terdengar justru lantunan ayat dan tanya-jawab tentang tajwid. Beberapa petugas tampak duduk di dekat mushola, bukan untuk berjaga, tetapi ikut mendampingi anak-anak belajar. Bahkan ada yang sesekali melempar lelucon, mencairkan suasana.
“Saya dulu takut lihat polisi. Tapi sekarang tidak lagi,” kata Agung, siswa kelas VII yang sejak awal menjadi peserta tetap TPQ. “Kalau sudah besar, saya pengen jadi polisi yang bisa ngajarin ngaji juga.”
Pernyataan polos Agung mencerminkan dampak nyata dari eksperimen sosial ini. Dari mushola kecil di sebuah kantor polisi, paradigma bisa diubah. Anak-anak yang sebelumnya melihat polisi sebagai sosok otoritatif dan menakutkan, kini melihat mereka sebagai pelindung, pembimbing, bahkan teladan.
Tak hanya membangun kedekatan emosional, TPQ ini juga menanamkan nilai-nilai moral dan disiplin sejak dini. Anak-anak datang tepat waktu, menjaga kebersihan, dan belajar menghargai waktu. Semua itu tumbuh dari interaksi yang hangat namun tegas bersama para pengajar dan aparat.
Sorawolio bukan Jakarta. Namun dari tempat ini, sebuah pembaruan kecil sedang berlangsung. Enam puluh anak dengan semangat belajar yang tinggi telah menggerakkan mesin perubahan. Mereka adalah generasi yang kelak tak hanya mengenal polisi dari berita kriminal, tetapi dari mushola tempat mereka belajar mengenal Tuhan.
Jika selama ini polisi dikenal karena tangan besinya, kini di Sorawolio polisi mulai dikenal dari sentuhan lembutnya. Karena terkadang, menjaga keamanan bukan soal menangkap, tapi tentang membina. Dan 60 anak di Polsek Sorawolio telah membuktikan bahwa pendekatan itu bukan mustahil.
Editor: Denyi Risman