AI, Data, dan Rasa: Paradigma Baru Pemasaran Modern

La Ode Mansabdar Kanande, Dosen Manajemen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

Oleh: La Ode Mansabdar Kanande

Pemasaran kontemporer memasuki fase transformasi besar seiring dengan integrasi kecerdasan buatan (AI) dalam strategi bisnis lintas sektor. Hampir semua industri, mulai dari ritel, kesehatan, hingga perbankan, berlomba mengadopsi AI untuk meningkatkan personalisasi layanan dan efektivitas kampanye pemasaran. Fenomena ini sejalan dengan gagasan Philip Kotler (2021) bahwa pemasaran masa depan akan bertumpu pada data, teknologi, dan koneksi emosional dalam menciptakan pengalaman pelanggan yang unik.

Artinya, keunggulan pemasaran modern tidak hanya ditentukan oleh algoritma dan big data, tetapi juga oleh kemampuan perusahaan menghadirkan nilai emosional (rasa) yang memperkuat ikatan dengan konsumen. Emosi berperan sebagai aset relasional yang menjembatani produk dengan pengalaman personal, sekaligus menjadi faktor diferensiasi di tengah pasar yang semakin homogen.

AI dan Data: Landasan Efisiensi dan Akurasi

AI menghadirkan peluang untuk mengimplementasikan hyper-personalization, di mana pesan pemasaran dapat disampaikan dengan relevansi tinggi, tepat waktu, dan sesuai kebutuhan spesifik audiens (Business Insider, 2025). Laporan World Federation of Advertisers (2025) bahkan menyebut era ini sebagai “hyper generative AI personalization.”

Dari sudut pandang ekonomi manajerial, AI berperan sebagai katalis efisiensi:
• Automasi proses mengurangi biaya operasional,
• Analitik prediktif mempercepat pengambilan keputusan berbasis data,
• Sistem rekomendasi meningkatkan efektivitas alokasi sumber daya pemasaran.

Sementara itu, data menjadi sumber akurasi strategis yang memberikan landasan faktual untuk memahami preferensi dan perilaku konsumen. Namun, data hanya bernilai jika diinterpretasikan secara kontekstual, dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan psikologis.

Pentingnya Rasa dalam Pemasaran Relasional

Di tengah dominasi teknologi, elemen “rasa” sering diabaikan. Dalam konteks manajemen pemasaran, rasa mencakup:
Empati: memperlakukan konsumen sebagai individu, bukan sekadar angka,
Konteks sosial: memahami preferensi yang dipengaruhi lingkungan dan kondisi ekonomi,
Storytelling: menciptakan narasi yang relevan dengan pengalaman hidup konsumen,
Nilai budaya: menyesuaikan pesan dengan norma dan identitas lokal.

Tanpa rasa, personalisasi berbasis AI akan terasa mekanis, dingin, dan tidak manusiawi. Konsumen mungkin menerima rekomendasi produk yang akurat, tetapi jika pesan tidak menyentuh sisi emosional, loyalitas sulit terbangun. Sebaliknya, integrasi rasa mengubah personalisasi menjadi interaksi autentik yang memperkuat kepercayaan (trust capital) serta menciptakan loyalitas jangka panjang.

Tantangan Adopsi AI

Meski potensinya besar, penerapan AI dalam pemasaran menghadapi sejumlah hambatan:
1. Kesenjangan infrastruktur teknologi – terutama bagi UMKM yang terbatas modal, akses data, dan SDM berkompetensi digital.
2. Isu etika dan privasi – sebagian konsumen merasa khawatir terhadap penggunaan data pribadi tanpa transparansi. Hal ini menimbulkan risiko erosi kepercayaan yang dapat merugikan legitimasi merek.

Implikasi Manajerial

Dari perspektif manajemen, AI dan data tidak boleh diposisikan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai enabler untuk menciptakan interaksi yang relevan dan bermakna. Strategi pemasaran modern memerlukan keseimbangan antara tiga elemen utama:
1. AI – efisiensi: mengotomasi proses, mempercepat analisis, dan mengefisienkan alokasi sumber daya.
2. Data – akurasi: menyediakan insight faktual untuk pengambilan keputusan.
3. Rasa – relevansi: menghadirkan sentuhan emosional yang memastikan interaksi lebih manusiawi.

Selain itu, aspek etika manajerial menjadi krusial. Transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan privasi harus menjadi prinsip utama dalam pengelolaan data. Pelanggaran terhadap prinsip ini akan menggerus trust capital, yang sesungguhnya lebih berharga dibanding pencapaian penjualan jangka pendek.

Penutup

Era pemasaran modern bukan sekadar kompetisi algoritma dan big data, melainkan kompetisi dalam menghadirkan keseimbangan antara kecanggihan teknologi dan kepekaan manusiawi. AI memberi efisiensi, data memastikan akurasi, tetapi rasa-lah yang menentukan relevansi.

Perusahaan yang mampu mengintegrasikan ketiga elemen ini akan memperoleh keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage) di tengah dinamika pasar global yang semakin kompleks. Pada akhirnya, masa depan pemasaran tidak hanya soal transaksi, tetapi tentang membangun hubungan jangka panjang yang autentik, etis, dan bernilai emosional.


*) Penulis adalah Dosen Manajemen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari

error: Content is protected !!