Air Laut Menjadi Air Mata: Baliara Bombana Tercekik Asap Nikel

Air laut yang menguning akibat sedimentasi limbah tambang nikel terlihat menggenang di bawah rumah warga pesisir Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat, Bombana. Foto: Dok. Walhi Sultra.

Bombana – Desa Baliara, Kecamatan Kabaena Barat, Kabupaten Bombana, dulunya adalah wajah tenang dari pesisir Sulawesi Tenggara (Sultra). Kini, wajah itu pias dan penuh luka. Sejak tambang nikel hadir membawa janji kemajuan, kehidupan warga justru terbenam dalam penderitaan yang perlahan namun pasti menggerogoti tubuh, nafkah, dan rasa aman mereka.

Di balik kerlap-kerlip pembangunan, dua perusahaan tambang nikel, yakni PT Timah Investasi Mineral dan PT Trias Jaya Agung, beroperasi nyaris tanpa henti. Bukit-bukit dikeruk, debu dan lumpur berjatuhan ke laut, mengubah air biru menjadi kubangan kecokelatan. Di permukaan, laut terlihat tenang. Namun di dasarnya, nyawa-nyawa kecil berjatuhan. Ikan mati, rumput laut membusuk, dan warga kehilangan pegangan hidup.

Nelayan yang dulunya menggantungkan harapan dari pukat dan jaring, kini hanya membawa pulang kelelahan. Hasil tangkapan menurun drastis. Dahulu, dalam enam jam melaut, mereka bisa mengantongi Rp700.000. Kini, belasan jam di laut hanya menghasilkan sekitar Rp200.000. Itu pun dengan risiko membawa pulang ikan yang tidak layak konsumsi.

“Dulu, sekali melaut dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang, kami bisa dapat Rp700.000. Sekarang, meski dari subuh sampai malam, hanya Rp200.000,” keluh seorang warga, Rabu (16/4).

Tidak hanya itu. Budidaya rumput laut dan keramba ikan yang menjadi alternatif penghidupan juga mengalami kehancuran. Limbah ore nikel meresap diam-diam, membuat tanaman gagal tumbuh dan ikan-ikan di keramba mati perlahan. Ironisnya, masyarakat mulai takut memakan ikan hasil tangkapan mereka sendiri.

Dampaknya menjalar ke tubuh. Gatal-gatal muncul setelah bersentuhan dengan air laut. Anak-anak tidak lagi bermain di pantai. Mereka dipaksa dewasa lebih cepat, hidup dalam ketakutan terhadap laut yang dulunya menjadi ruang bermain mereka.

Kondisi ini diperparah oleh banjir yang semakin sering terjadi sejak aktivitas tambang berlangsung. Dalam satu insiden tragis antara tahun 2018 hingga 2025, seorang balita dilaporkan hilang dan tenggelam di laut yang telah berubah rupa. Air itu tidak lagi membawa kehidupan, melainkan menyembunyikan kematian.

“Kami tidak anti tambang, tapi kami ingin kehidupan yang adil,” tegas Rahma, warga Desa Baliara.

“Kami dulu bisa hidup cukup hanya dari laut. Sekarang, laut bukan lagi tempat mencari rezeki, tapi sumber kecemasan. Anak-anak kami tidak lagi aman bermain di pantai. Ikan tak lagi bisa dikonsumsi. Kami hanya ingin hidup yang layak, bukan kemewahan,” kisahnya.

Namun suara-suara seperti Rahma kerap tenggelam dalam bisingnya alat berat dan rapat-rapat elite. Perizinan terus berjalan, pengawasan longgar, dan tidak satu pun sanksi tegas dijatuhkan. Masyarakat menuntut keadilan lingkungan, tetapi negara belum hadir di sisi mereka.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sultra, Andi Rahman, menyebut kondisi ini sebagai bentuk nyata dari pengabaian pemerintah.

“Apa yang terjadi di Desa Baliara adalah bentuk nyata dari abainya negara terhadap hak hidup masyarakat pesisir. Tambang nikel tidak hanya merusak ekosistem, tapi merampas ruang hidup. Pemerintah wajib hadir, bukan sekadar sebagai pengatur, tapi pelindung warganya,” ujarnya.

Desa Baliara tidak sedang menolak tambang. Mereka menolak kematian yang diselipkan dalam truk-truk pengangkut ore. Mereka tidak menolak pembangunan, melainkan menuntut agar tidak dijadikan korban dari keserakahan yang dibungkus dalam narasi investasi.

Kini, air laut telah berubah menjadi air mata. Dan jika tidak segera diubah, tangisan ini akan menjadi jeritan sunyi yang tidak akan pernah terdengar lagi. Sebab, mereka yang bersuara akan pergi satu per satu, bersama kehidupan yang lebih dulu mati.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!
Exit mobile version