Kendari – Gelombang kecaman terhadap tindakan kekerasan yang dialami wartawan MetroTV, Fadli, oleh dua ajudan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Andi Sumangerukka, terus meluas. Setelah insiden tersebut menjadi perhatian publik, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari kini mendesak Gubernur untuk bertanggung jawab secara moral dan politik atas perilaku aparat pengawalnya.
Kasus ini bermula ketika Fadli berusaha meminta klarifikasi kepada Gubernur Sultra terkait pelantikan mantan narapidana korupsi sebagai pejabat eselon IV di lingkungan Pemerintah Provinsi Sultra. Wawancara yang berlangsung di depan Aula Bahteramas Kantor Gubernur Sultra, Selasa (21/10) sore, itu berubah tegang setelah dua ajudan Gubernur diduga mendorong, menghalangi, hingga memukul ponsel wartawan yang digunakan untuk merekam.
Beberapa wartawan lain yang berada di lokasi turut menyaksikan langsung insiden tersebut. Mereka mengaku terkejut dengan sikap berlebihan para ajudan yang tampak panik begitu pertanyaan menyentuh isu pelantikan pejabat eks narapidana korupsi.
Menurut penuturan Fadli, situasi awal wawancara berjalan normal sebelum tiba-tiba dua ajudan mendekat dan melakukan tindakan penghalangan.
“Tiba-tiba ajudan datang, mendorong saya agar menjauh dari gubernur. Sejurus dengan itu, datang lagi satu ajudan lain berambut gondrong dan bermasker hitam juga ikut menghalangi dan melarang kami melanjutkan wawancara,” ujar Fadli.
Ia menambahkan, tindakan itu berlanjut hingga ajudan tersebut memukul ponselnya ketika ia berupaya melanjutkan pertanyaan.
“Saya bilang, kenapa halangi saya? Tapi ajudan itu menjawab, ‘sudah cukup’. Gubernur saat itu langsung pergi seolah hanya membiarkan ajudannya menghalang-halangi saya,” kata Fadli.
Menanggapi peristiwa ini, Ketua AJI Kendari, Nursadah, menegaskan bahwa tindakan ajudan tersebut merupakan bentuk tekanan yang tidak seharusnya terjadi dalam ruang demokrasi dan kerja-kerja pers.
“Tindakan semacam ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers dan melindungi jurnalis dalam menjalankan tugas profesionalnya,” ujar Nursadah.
Ia mendesak agar pejabat publik, termasuk aparat pengamanan di lingkungan mereka, menghormati kerja jurnalis serta tidak menggunakan intimidasi, baik verbal maupun fisik, dalam situasi apapun.
“Kami mengimbau kepada para jurnalis untuk tetap menjaga profesionalitas serta melaporkan setiap bentuk kekerasan atau intimidasi yang dialami di lapangan,” ungkapnya.
Dalam pernyataan resminya, AJI Kendari menyatakan lima sikap tegas. Pertama, mengecam keras segala bentuk intimidasi verbal dan fisik yang dilakukan oleh ajudan Gubernur Andi Sumangerukka terhadap jurnalis. Tindakan itu dinilai sebagai bentuk penghalangan terhadap kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Kedua, AJI menuntut permintaan maaf terbuka dari Gubernur Andi Sumangerukka selaku pihak yang bertanggung jawab atas tim ajudan yang bertindak represif terhadap jurnalis. Menurut organisasi tersebut, permintaan maaf ini penting sebagai bentuk tanggung jawab moral dan politik kepada publik.
Ketiga, AJI mendesak dilakukan evaluasi terhadap standar etika dan perilaku ajudan publik terhadap jurnalis di lapangan, termasuk pemberian sanksi kepada oknum yang terlibat.
Keempat, AJI mengimbau seluruh pejabat publik, tokoh politik, dan aparatur keamanan untuk memahami serta menghormati kerja jurnalistik sebagai bagian dari sistem demokrasi.
Kelima, AJI mengajak seluruh media, organisasi profesi jurnalis, dan masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini hingga tuntas agar tidak dibiarkan berlalu tanpa tindak lanjut.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemerintah Provinsi Sultra dan Gubernur Andi Sumangerukka belum memberikan pernyataan resmi terkait dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan dua ajudannya terhadap wartawan MetroTV.
Editor: Redaksi








