Muna Barat – Gelombang keresahan tengah melanda nelayan tradisional di Kabupaten Muna Barat. Alat tangkap ikan jenis perre-perre yang diklaim ramah lingkungan kini justru dituding sebagai penyebab utama menurunnya hasil tangkapan nelayan kecil serta terganggunya keseimbangan ekosistem laut.
Bagi masyarakat pesisir, seperti di Desa Katela, Kecamatan Tiworo Kepulauan, alat ini dianggap membawa perubahan besar yang justru merugikan.
Edy, tokoh masyarakat setempat, menuturkan pendapatan nelayan turun drastis sejak alat tangkap perre-perre mulai beroperasi di sekitar wilayah tangkap mereka di perairan Selat Tiworo.
“Dulu hasil tangkapan kami lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sekarang, jangankan untuk menabung, kadang untuk makan saja sudah susah,” ungkapnya, Rabu (22/10).
Alat tangkap perre-perre merupakan jenis light fishing yang menggunakan sinar lampu untuk menarik perhatian ikan kecil seperti teri ke arah jaring. Alat ini dioperasikan di perairan dangkal dan kerap menimbulkan perdebatan karena dinilai tidak selektif, bahkan menangkap semua jenis ikan termasuk ikan kecil yang menjadi makanan ikan besar.
Kekhawatiran masyarakat Katela bukan tanpa alasan. Mereka menilai aktivitas perre-perre telah mengacaukan rantai ekosistem laut dan mempersempit ruang tangkap nelayan tradisional.
“Kita mau menegur juga percuma, tidak ada gunanya. Malah bisa berdampak buruk bagi kita sendiri,” lanjut Edy dengan nada pasrah.
Hasil penelusuran menunjukkan Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Muna Barat sebenarnya sudah menetapkan batasan operasi perre-perre. Alat tangkap ini seharusnya hanya boleh digunakan di luar zonasi bagang dan menunggu keputusan resmi dari pemerintah provinsi. Namun kenyataannya, kesepakatan itu diduga kuat dilanggar.
“Mereka (pemilik alat tangkap perre-perre) sering sekali beroperasi dekat wilayah tangkap kami. Padahal sudah ada kesepakatan yang jelas,” keluhnya.
Fenomena pelanggaran sistematis ini menimbulkan dugaan adanya pembiaran dari aparat setempat. Warga bahkan menuding pemerintah desa bersikap acuh terhadap keresahan yang semakin meluas. Kondisi itu membuat masyarakat kian kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah menegakkan aturan.
Selain dampak ekonomi, kerusakan ekologi juga menjadi ancaman jangka panjang. Nelayan khawatir alat tangkap perre-perre akan menghabiskan stok ikan kecil dan mengganggu regenerasi populasi ikan besar di perairan Muna Barat.
“Kalau semua ikan ditangkap tanpa pandang bulu, bagaimana ekosistem laut kita bisa terjaga? Ini kan bisa mengancam keberlangsungan hidup kita sebagai nelayan di masa depan,” ujar Edy.
Desakan agar pemerintah segera bertindak pun semakin keras disuarakan. Para nelayan menuntut penertiban dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran kesepakatan.
“Kami hanya ingin mencari nafkah dengan tenang dan menjaga laut kami tetap lestari untuk anak cucu kami. Kami sangat berharap pemerintah bisa membantu kami mewujudkan hal ini,” katanya penuh harap.
Menanggapi laporan tersebut, Kepala DKP Muna Barat, Sukarti Lykra, mengaku akan segera menindaklanjuti persoalan ini untuk mencegah konflik terbuka antar nelayan.
“Masalah ini sebenarnya sudah difasilitasi oleh kepala dinas yang lama, dan saya pikir sudah selesai. Namun ternyata masih berlanjut dan saya baru mengetahuinya,” ujarnya.
Ia memastikan DKP akan memanggil seluruh pihak terkait, mulai dari pemilik perre-perre hingga perwakilan nelayan, guna mencari solusi yang berkeadilan.
“Saya ingin mendengarkan secara langsung bagaimana keluhan masyarakat dan penjelasan dari pihak pemilik alat tangkap perre-perre. Nantinya, kita akan upayakan solusi yang adil dan tidak merugikan masyarakat,” tegasnya.
Sebagai langkah awal, DKP Muna Barat akan memfasilitasi pertemuan lintas pihak dan membuat kesepakatan tertulis yang mengikat.
“Dalam pertemuan itu harus ada kesepakatan yang jelas dan konsekuensi yang tegas jika dilanggar,” pungkas Sukarti.
Editor: Redaksi








