Jakarta – Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Mabes Polri pada Rabu (8/3).
Kedatangan Ampuh tak lain untuk mengadukan dugaan pelanggaran PT Tristaco Mineral Makmur (TMM) di bidang pertambangan nikel di wilayah Konawe Utara.
Koordinator aksi, Arin Fahrul Sanjaya mengaku pihaknya merasa janggal terkait kejahatan PT TMM yang tak kunjung ditindak oleh Gakkum KLHK RI maupun kepolisian. Menurutnya, dugaan perambahan hutan yang diduga dilakukan PT TMM sudah lama dilakukan.
“Sebenarnya sudah saatnya PT Tristaco Mineral Makmur ini untuk ditindak secara tegas. Tidak boleh lagi ada yang namanya kebijakan,” kata Arin.
Arin menduga, ada oknum di KLHK RI yang sengaja melindungi dugaan perambahan hutan PT MM. Pasalnya, dugaan perambahan hutan oleh PT TMM diduga dilakukan sejak 2013 tetapi belum pernah sekalipun ditindak secara tegas dan diberikan sanksi.
“PT TMM sejak 2013 melakukan perambahan hutan, tapi sampai sekarang belum pernah ditindak secara tegas. Kami curiga ada oknum di tubuh KLHK RI yang melindungi perusahaan ini,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Ampuh Sultra mendesak KLHK RI untuk segera memproses hukum pimpinan PT TMM atas dugaan perambahan hutan di Kabupaten Konawe Utara.
“Kami minta agar pihak KLHK RI segera memanggil dan memeriksa dirut PT TMM inisial RHT untuk bertanggung jawab terkait perambahan hutan,” tegasnya.
Direktur Ampuh Sultra, Hendro Nilopo selaku penanggung jawab aksi mengatakan KLHK RI tidak mestinya lemah terhadap PT TMM. Sebab telah ada temuan dari KLHK RI itu sendiri terkait perambahan hutan yang dilakukan oleh perusahaan.
“PT TMM ini masuk dalam daftar perusahaan yang melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan tanpa izin, dan data itu diterbitkan oleh KLHK RI. Jadi mestinya harus ada penindakan,” ungkapnya.
Hendro bilang, jika memang mekanisme pertanggungjawaban PT TMM menggunakan skema Pasal 110 B UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Maka seharusnya perusahaan tersebut sudah dihentikan kegiatannya sejak 2021 lalu atau sejak ada temuan dari KLHK RI terkait perambahan hutan olej PT TMM.
Namun fakta di lapangan berbeda, lanjut Hendro, karena tahun 2022 RKAB PT TMM masih terbit. Artinya koordinasi antara KLHK RI dan Kementerian ESDM sangat lemah.
“Jadi mengacu ke Pasal 110 B UU Cipta Kerja, mestinya PT TMM membayar denda administrasi karena melakukan kegiatan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebelum UU Cipta Kerja berlaku,” kata dia.
“Namun, dalam proses penyelesaian denda administrasi. Mestinya kegiatan pertambangan PT MM dihentikan sementara. Namun faktanya PT TMM masih juga melakukan penambangan. Artinya ada indikasi pembangkangan terhadap aturan atau mungkin ada pembiaran dari oknum di tubuh KLHK RI,” sambungnya
Hendro menegaskan, pihak KLHK RI mesti berkoordinasi dengan Kementerian ESDM RI agar tidak menyetujui RKAB PT TMM tahun 2023 sampai persoalan perambahan hutan dinyatakan tuntas.
“Harus ada langkah pasti dari pihak KLHK RI, sebab tahun lalu masih kecolongan. Buktinya tahun lalu PT TMM masih mendapatkan RKAB dari Kementerian ESDM RI dan itu merupakan suatu kelalaian fatal menurut kami,” katanya.
Usai berdialog dengan perwakilan KLHK RI pihaknya kemudian melanjutkan aksi demonstrasi di depan Makrkas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Di Mabes Polri, pihaknya bertemu dengan perwakilan Bareskrim Polri atau bagian Tindak Pidana Tertentu dan telah menyerahkan semua bukti-bukti terkait dugaan perambahan hutan oleh PT TMM di Kabupaten Konawe Utara.
Editor: Wiwid Abid Abadi