Opini  

Catatan Kritis Pemberlakuan Pasal Tindak Pidana Korupsi dalam KUHP Nasional

Fadly A Safaa. Foto: Dok. Istimewa.

Oleh: Fadly A Safaa SH MH

Disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Nomor 1 Tahun 2023 sejak 1 Januari 2023 dan akan efektif berlaku 2 Januari 2026 ,namun beberapa ketentuan yang terdapat dalam pasal tersebut berpotensi meninggalkan perdebatan khususnya dari kalangan pemerhati dan pegiat anti korupsi terhadap kodifikasi hukum yang memuat sebanyak 622 pasal, dan merupakan cerminan dari berbagai undang-undang yang salah satunya adalah pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi.

Pada Pasal 603 KUHP Nomor 1 Tahun 2023 menyebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI

Ketentuan tersebut merupakan absorpsi dari Pasal 2 Ayat (1) undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah oleh undang-undang nomor 20 Tahun 2001:

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)

Terdapat perbedaan dalam kedua ketentuan tersebut, beberapa elemen perubahan tersebut terdiri dari:

Dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, mengatur mengenai minimum khusus pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun namun dalam ketentuan KUHP Nomor 1 tahun 2023 pidana penjara paling singkat 2 tahun.

Dalam unsur Pasal 603 KUHP sudah tidak terdapat kata “dapat” sehingga ketentuan pidana tersebut mengandung makna unsur pasal sebagai tindak pidana materiil sebagaimana Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016:

Menghilangkan unsur “dapat” dalam rumusan tindak pidana korupsi. Menetapkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata

Alasan MK mengubah ketentuan dalam UU Tipikor adalah: Kata “dapat” menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi terdakwa dan terpidana korupsi

Kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi pejabat. Kata “dapat” menimbulkan multitafsir, ambigu, dan penerapannya tidak pasti. Kata “dapat” berpotensi disalahgunakan aparat penegak hukum.

Hal lain dalam KUHP Nomor 1 tahun 2023 mengatur mengenai ketentuan pidana mengenai denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI yang tidak terdapat dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001.

Salah satu pasal yang bakal mengundang reaksi pasca berlakunya sebagaimana terdapat dalam ketentuan penjelasan pasal 603 KUHP yang menyebutkan:

Yang dimaksud dengan “merugikan keuangan negara” adalah hasil pemeriksaan lembaga negara audit keuangan

Dalam konteks penjelasan pasal 603 KUHP tersebut mengandung penjelasan yang cenderung bersifat pedoman atau pelaksanaan suatu undang-undang bukan merupakan tafsir autentik atau tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh

Konsekuensi dari penjelasan pasal 603 KUHP Nomor 1 tahun 2023 tersebut memberikan legal obligation atau kewajiban hukum bagi penegak hukum untuk menggunakan lembaga negara audit keuangan untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara di setiap tingkatan proses penanganan perkara baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan oleh pengadilan, lembaga negara tersebut tidak lain adalah Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) sebagaimana ketentuan pasal 1 butir 1 undang-undang nomor 15 tahun 2006 yang menyebutkan:

Badan Pemeriksa Keuangan yang selanjutnya disebut BPK adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945

Menjadikan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai satu-satunya Lembaga negara yang dapat melakukan perhitungan kerugian negara akan berdampak pada gerak penanganan perkara  tindak pidana korupsi yang disebabkan tidak dapat digunakannya lembaga lain seperti BPKP sebagai lembaga pemerintah non kementrian (LPNK) serta keilmuan auditor lain dalam melakukan penghitungan kerugian keuangan negara yang dalam praktek sekarang ini telah banyak memberikan kontribusi membantu kerja dan kinerja aparat hukum serta Lembaga Negara keuangan.

Dengan menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam proses penanganan perkara seolah-olah sebagai bagian integral dari integrited criminal justice system yang memberikan corak kitab undang-undang hukum pidana tersebut masuk dalam domain administrasi penal law padahal hukum pidana merupakan cabang hukum lain yang mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggaran dan kejahatan, konsep  ideal lembaga audit tersebut adalah sebagai supporting system dalam sistem peradilan pidana khususnya penanganan perkara tindak pidana korupsi

Diharapkan KUHP Nasional merupakan produk hukum yang monumental dan bukan eksperimental terutama berlakunya ketentuan pasal 603 KUHP Nasional beserta penjelasannya yang dapat lebih memiliki ekstensifikasi dalam membuka ruang tafsir yang lebih luas melalui uji konstitusionalitas terhadap makna penggunaan lembaga negara audit keuangan dalam arti termasuk lembaga atau auditor lain yang memiliki keahlian sehingga pembentukan hukum tersebut  lebih partisipatif dan menghindari kecenderungan birokratis.


*) Penulis adalah jaksa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara dan Dosen LB Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara.

error: Content is protected !!