Oleh: Muhammad Takdir Al Mubarak SH, MH
Belakangan ini ramai di media sosial pemberitaan NW seorang mahasiswi dari Universitas Brawijaya yang ditemukan meninggal dunia disamping kuburan ayahnya. Diduga ia meninggal dunia akibat meminum teh yang telah dicampur dengan racun berjenis potasium.
Berdasarkan informasi yang beredar diketahui bahwa NW meninggal dunia bukanlah karena ditinggal pergi oleh almarhum ayahnya, melainkan karena depresi telah menjadi korban perkosaan, kemudian hamil dan ia dipaksa melakukan aborsi atas janin yang dikandungnya oleh pacarnya yang diketahui sebagai anggota Polisi di Polres Pasuruan. Informasi ini beredar luas di media sosial hingga akhirnya menjadi viral.
Viralnya informasi tersebut membuat Kapolri Listyo Sigit Prabowo langsung turun tangan. Al hasil Bribda Randi pacar NW langsung dilakukan pemeriksaan dan ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menyuruh melakukan aborsi terhadap NW. Sementara dikenakan terhadapnya adalah Pasal 348 KUHP dengan acaman hukuman paling lama 5 tahun penjara.
Menambah Deretan Kasus yang Mesti Menunggu Viral
Langkah cepat Kapolri ini memang perlu mendapat apresiasi. Akan tetapi, kasus NW justru menjadi catatan tambahan dalam hal penegakan hukum oleh Kepolisian. Catatan yang dimaksud adalah berkaitan, access to justice kepada para korban yang mesti menunggu ‘viral’ lebih dulu baru mendapat perhatian yang berkeadilan dihapadan hukum. Sebelum kasus NW, belum lama ini ada kasus soal istri yang memarahi suami di Karawang yang dituntut 1 tahun penjara oleh jaksa. Kemudian kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual yang terjadi di Luwu Timur, dimana 3 orang anak menjadi korban kekerasan seksual oleh ayahnya sendiri. Lalu kasus kekerasan seksual yang terjadi di Komisi Penyiaran Indonesia.
Kasus-kasus tersebut adalah sebagian dari banyaknya kasus yang mesti lebih dulu viral di media sosial baru mendapatkan perhatian yang berkeadilan oleh aparat penegak hukum. Menjadi tidak bisa dibayangkan jika deretan kasus-kasus tersebut di atas tidak ada desakan dari publik, access to justice oleh korban sangat sulit dijangkau. Maka fonomena sosial hari ini mesti menjadi catatan terhadap penegakan hukum kita saat ini.
Pemeriksaan yang Tidak Seimbang
Wakapolda Jawa Timur, Brigjen Slamet dalam konfersi pers di Polres Mojokerto mengatakan bahwa dari penyelidikan yang dilakukan, Bribda Randi mengungkapkan bahwa ia dan NW telah berpacaran sejak oktober 2019 hingga 2021 dan melakukan hubungan layaknya suami-istri yang mengakibatkan NW hamil 2 kali. Atas hal tersebut Bribda Randi dalam pengakuannya di kepolisian kemudian menyuruh untuk melakukan aborsi, dan disetujui oleh NW. Aborsi pertama dilakukan pada bulan Maret 2020 dan kedua pada Agustus 2021 dengan menggunakan obat postinor dan cykotec.
Pengakuan Bribda Randi inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam menentukan sangkaan pasalnya, yakni menggunakan Pasal 348 KUHP. Selengkapnya pasal ini berbunyi sebagai berikut:
1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Pada poinnya, ketentuan Pasal 348 KUHP ini mensyaratkan bahwa pihak laki-laki dan perempuan itu bersama-sama sepakat untuk melakukan aborsi. Sebagai catatan, bahwa pada kasus Bribda Randi ini tidak bisa diterapkan ketentuan ayat (2) dalam pasal tersebut, karena NW meninggal dunia bukan diakibatkan secara langsung dari perbuatan menggugurkan atau mematikan kandungan, melainkan karena meneguk minuman yang berisi racun. Sehingga ketentuan yang digunakan adalah pada ayat (1) nya.
Secara lebih jauh, sejatinya jika melihat kedudukan pemeriksaan dalam kasus viral ini, tentulah sudah tidak memiliki keseimbangan. Hal ini disebabkan NW telah meninggal dunia. Sehingga untuk membenarkan atau tidak apa yang seluruhnya diungkapkan oleh Bribda Randi dalam pemeriksaan di kepolisian menjadi sulit.
Perlu digaris bawahi pula bahwa meskipun seseorang yang diduga telah melakukan suatu perbuatan pidana mengakui perbuatannya tersebut tidaklah serta-merta dapat diterima sebagai suatu alat bukti. Karena alat bukti yang berlaku berdasarkan hukum pidana formil di Indonesia saat ini sudah tidak lagi mengakomodir adanya pengakuan sebagaimana ketentuan saat berlakunya Herziene Inlands Reglement yang mana implikasi dari dianutnya pengakuan sebagai alat bukti saat itu aparat penegak hukum lebih banyak mengejar pengakuan dari tersangka.
Akan tetapi di dalam alat bukti yang saat ini adalah adalah keterangan terdakwa. Meskipun keterangan terdakwa ini bisa berisi pengakuan ataupun juga penyangkalan, akan tetapi hukum pidana formil yang berlaku saat ini tidak menjadikan hal itu sebagai suatu alat bukti yang sempurna. Dengan kata lain, meskipun terdakwa mengakui perbuatannya, Jaksa Penuntut Umum tetap memiliki kewajiban untuk membuktikan unsur pidananya dan perlu diikat dengan alat bukti lain sehingga hal itu menjadi alat bukti yang sempurna. Apalagi pengakuan yang diakui itu hanyalah pengakuan yang dilakukan di dalam ruang persidangan, bukan di luar dari persidangan. Dan semua pengakuan itu pun mesti dikembalikan lagi kepada hakim yang menilai. Oleh sebab pengakuan tersangka bukanlah menjadi salah satu hal yang sempurna sebagai suatu alat bukti, maka dalam kasus NW ini pun seharusnya patut dipertimbangan pula berkaitan dengan keterangan-keterangan lain selain dari keterangan Bribda Randi yang mengakui perbuatannya.
Terhadap chat WA dan tulisan di Quora yang diduga kuat berasal dari NW sebelum meninggal dunia yang telah ramai tersebar luas di media sosial yang pada pokoknya berisi bahwa NW sesungguhnya diajak kesebuah hotel oleh Bribda Randi, lalu NW dipaksa meminum sesuatu dan kemudian tidak sadarkan diri, berapa bulan kemudian ia sadar bahwa ia telah hamil, kemudian informasi berisi keterangan bahwa NW sesungguhnya tidak setuju untuk melakukan aborsi tetapi dipaksa oleh Bribda Randi dengan dipaksa meminum pil obat penggugur kandungan. Tidak saja oleh Bribda Randi yang memaksa dan menyuruh melakukan aborsi, melainkan juga orang tua Bribda Randi.
Maka hal itu mestinya perlu pula mendapat tanggapan oleh pihak kepolisian. Keterangan yang beredar tersebut jika benar bersumber dari NW, maka hal itu bisa menciptakan keseimbangan pemeriksaan sehingga dapat berimplikasi pada penggunaan sangkaan pasalnya. Dengan kata lain jika benar bahwa apa yang beredar luas dan menjadi viral itu adalah dari NW maka membuka peluang untuk menggunakan ketentuan yang berbeda, yakni soal Pasal 286 KUHP tentang perkosaan dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya dengan ancaman pidana paling lama 9 tahun penjara dan juga Pasal 347 KUHP tentang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya yang mana ancamannya adalah paling lama 12 tahun penjara bahkan juga terhadap orang tua Bribda Randi bisa termasuk dalam penyertaan.
Scientific Evidence
Informasi yang beredar luas tersebut berupa chat WA dan tulisan di Quora yang diduga keras ditinggalkan oleh NW sebelum akhirnya meninggal dunia sejatinya dapat dikualifisir sebagai suatu alat bukti. Hal ini yang dimaksud sebagai alat bukti ilmiah atau scientific evidence.
Scientific evidence adalah bukti yang diambil dari implementasi pengetahuan ilmiah yang berguna untuk membantu memahami sebuah bukti atau alat bukti atau juga menentukan fakta dalam sebuah persidangan. Scientific evidence sejatinya berasal dari seorang yang ahli dibidang tertentu, yang mana orang itu ahli karena pengetahuannya, kemampuannya, pengalamannya, pelatihannya atau pendidikan dalam bentuk suatu opini atau pendapat (Rule 702, Federal Rules of Evidence) yang mana di Indonesia sendiri pun sejatinya telah diakui alat bukti berkaitan dengan keterangan ahli.
Oleh karena itu, chat WA dan tulisan di Quora yang diduga ditinggalkan oleh NW sebelum meninggal dunia yang berisi kronologi kejadian yang menimpanya itu bisa dijadikan sebagai suatu bukti yang mana diikat sebagai suatu scientific evidence. Dengan kata lain bukti itu bisa dibuat hidup dengan penjelasan dari seorang ahli dibidang digital forensik.
Tak Ada Izin Otopsi
Belum lama ini pula, pihak keluarga dari NW yakni ibunya menolak dilakukan proses otopsi terhadap anaknya. Lantas menimbulkan pertanyaan, apakah ditolaknya proses otopsi ini dapat menghambat proses pembuktian dalam kasus ini?
Bila melihat pada ketentuan pasal yang mengatur tentang aborsi baik yang disangkakan sementara terhadap Bribda Randi dengan Pasal 348 KUHP tentang adanya persetujuan dari pihak perempuan untuk melakukan aborsi, maupun terhadap Pasal 347 KUHP tentang tidak adanya persetujuan dari pihak perempuan untuk melakukan aborsi, tetapi kedua pasal tersebut terdapat unsur yang paling prinsipil untuk dibuktikan, yakni unsur “menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita”.
Unsur ini bersifat alternatif, sehingga cukup salah satu diantaranya saja yang mesti dibuktikan. Akan tetapi, pertanyaan lebih lanjutnya adalah, apakah jika tidak dilakukannya proses otopsi terhadap NW unsur menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita menjadi sulit dibuktikan? Bagaimana jika dilakukan proses otopsi, apakah tanda menggugurkan atau mematikan kandungan itu masih dapat dijamah? Oleh karena unsur “menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita” merupakan suatu bestandeellen delict, maka wajib dibuktikan kedepannya. Konsekuensi pembuktiaan dalam hukum pidana jika tidak dapat membuktikan salah satu unsur saja, maka terhadap Bribda Randi bisa terbebas dari sangkaannya.
Diketahui pula sebelumnya bahwa NW pernah menjalani perawatan di salah satu Rumah Sakit, mungkin saja rekam medik NW saat dirawat itu bisa digunakan untuk menjadi dasar bukti untuk membuktikan unsur “menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita”. Disisi lain, pengakuan dari Bribda Randi soal aborsi itu juga bisa dijadikan dasar untuk membuktikan unsur ini, meskipun bukanlah suatu alat bukti yang sempura, maka perlu didukung dengan alat bukti lainnya.
Tentu kasus ini masih terus dalam proses pemeriksaan dan pengembangan. Harapannya adalah kepolisian mesti bekerja secara profesional dan perlu melihat semua hal dan informasi yang ada untuk turut dimintai keterangan. Termasuk yang terbaru soal laporan NW di Komnas Perempuan dan Anak. Banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah pihak kepolisian dalam mengusut tuntas kasus ini. Termasuk juga menindak lanjuti informasi yang beredar bahwa NW pernah melakukan laporan ke Propam atas kasus yang menimpanya tetapi laporan itu ditolak oleh pihak kepolisian.
Terhadap pembentuk undang-undang. Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh NW menjadi satu dari banyaknya kasus yang selalu mental di dalam proses penegakan hukum khususnya dalam proses pembuktian. Untuk itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual mesti menjadi prioritas untuk disahkan. Sehingga dapat memberikan keadilan bagi para korban kekerasan seksual di kemudian hari.
* Penulis adalah pemerhati hukum.
* Seluruh isi dalam opini ini adalah tanggungjawab penulis.