Kendari – Di balik revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang tengah diajukan, tersingkap satu agenda besar yang memantik kemarahan organisasi lingkungan: ekspansi industri nikel di atas reruntuhan pulau-pulau kecil.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sultra melontarkan kritik tajam terhadap dokumen tata ruang yang mereka nilai sarat kepentingan oligarki tambang, penuh pelanggaran hukum, serta minim partisipasi publik.
“Revisi RTRW ini adalah bentuk legalisasi penghancuran ruang hidup rakyat dan kerusakan lingkungan demi kepentingan modal. Ini bukan tata ruang untuk rakyat, melainkan peta jalan eksploitasi yang disusun oleh dan untuk oligarki tambang,” tegas Direktur Eksekutif WALHI Sultra, Andi Rahman, dalam siaran persnya, Jumat (30/5).
Dari hasil penelusuran WALHI, dua nama pulau kecil mencuat sebagai titik rawan: Kabaena di Kabupaten Bombana dan Wawonii di Kabupaten Konawe Kepulauan.
Dua pulau ini bukan sekadar ruang hidup masyarakat pesisir, tetapi kini terancam menjadi “kuburan ekologis” jika revisi RTRW disahkan.
“Kegiatan tambang di pulau kecil jelas melanggar hukum dan mengancam ekosistem pesisir, sumber air, serta ruang hidup masyarakat yang sangat terbatas. Revisi RTRW seolah memberikan legitimasi pada aktivitas ilegal ini,” ujar Rahman.
Temuan WALHI menunjukkan bahwa revisi RTRW justru mempertahankan, bahkan melegalkan aktivitas pertambangan yang telah lama menuai konflik di dua pulau tersebut.
Lebih jauh lagi, dokumen ini membuka ruang untuk ekspansi izin baru di kawasan tangkapan air, hutan lindung, dan zona pesisir yang sebelumnya tergolong kawasan konservasi.
WALHI juga menyoroti pola serupa di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe.
Di wilayah ini, perubahan fungsi ruang dari kawasan pertanian dan perikanan rakyat menjadi kawasan industri nikel telah menyisakan jejak kerusakan ekologis: pencemaran Sungai Konaweeha, hilangnya sumber air bersih, lonjakan emisi debu, serta konflik sosial akibat perampasan lahan.
Menurut WALHI, dokumen revisi RTRW memuat empat kecacatan mendasar. Pertama, legalisasi pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Kabaena dan Wawonii. Kedua, perubahan fungsi kawasan lindung menjadi zona industri dan tambang.
Ketiga, proses penyusunan yang tertutup dan mengabaikan suara masyarakat adat, nelayan, serta akademisi independen. Keempat, fasilitasi ekspansi besar-besaran kawasan smelter dan industri nikel, seperti di Morosi, Pomalaa, dan Mandiodo.
WALHI menilai revisi RTRW tersebut tidak hanya cacat secara prosedural, tetapi juga secara substansi, karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 junto UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Atas dasar itu, WALHI mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan DPRD untuk menghentikan proses pembahasan revisi, serta menyerukan pelibatan masyarakat sipil dalam penyusunan tata ruang yang adil, terbuka, dan berkelanjutan.
“Jika revisi ini tetap dipaksakan, maka krisis ekologis di Sultra akan semakin parah. Pulau-pulau kecil akan hancur, konflik sosial meningkat, dan rakyat terus dikorbankan atas nama investasi,” tutup Andi Rahman.
Editor: Redaksi