Daerah  

Dibangun Jepang, Terbengkalai, Kini Menanti Terbang Kembali: Kisah Bandara Sugimanuru

Bandara Sugimanuru Muna Barat. Foto: Denyi Risman/Sultranesia.com.

Muna Barat – Bandara Sugimanuru, yang terletak di Desa Kusambi, Kecamatan Kusambi, Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara, bukan hanya sekadar sebuah titik di peta. Ia adalah saksi bisu dari perjalanan panjang yang penuh gejolak—dari masa penjajahan Jepang yang penuh ambisi hingga menjadi harapan yang terbentang bagi masyarakat Pulau Muna. Bandara ini ibarat burung yang telah jatuh, terluka oleh beragam peristiwa sejarah, namun tetap menunggu angin untuk membawanya kembali terbang ke angkasa.

Pada tahun 1942, di tengah kepungan Perang Pasifik yang mengguncang dunia, Pemerintah Jepang membangun Bandara Sugimanuru sebagai bagian dari strategi besar mereka untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Bandara ini bukan sekadar tempat pesawat mendarat; ia merupakan bagian penting dari jaringan logistik militer yang digunakan Jepang untuk memperkuat kendali atas wilayah Laut Banda dan Laut Jawa. Bersama dengan bandara-bandara lain yang dibangun di Indonesia, seperti Bandara Frans Kaisiepo di Biak dan Bandara Leo Wattimena di Pulau Morotai, Bandara Sugimanuru menjadi bagian dari mesin perang yang mendominasi Asia Tenggara pada masa itu.

Namun, setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945, dan Indonesia meraih kemerdekaan, Bandara Sugimanuru memasuki masa-masa suram. Seperti kapal yang kehilangan arah setelah badai besar, bandara ini seakan terhenti dalam sebuah ketidakpastian yang panjang. Baru pada 1980-an, harapan itu kembali bersemi. Merpati Nusantara Airlines mengoperasikan penerbangan dari Bandara Sugimanuru dengan pesawat Fokker F-27, menghubungkan Muna, Baubau, dan Makassar. Namun, kenyataan kembali meredupkan cahaya harapan itu. Persoalan administratif terkait lahan menghentikan aktivitas bandara ini, kembali melemparkannya ke dalam masa ketidakpastian.

Tiga dekade berlalu, dan Bandara Sugimanuru terbaring dalam keheningan. Namun, pada 5 Juli 2017, harapan itu muncul kembali, seperti matahari yang perlahan merayap naik di cakrawala. Wings Air, dengan pesawat ATR 72-500, melakukan penerbangan perdana yang menghubungkan Bandara Sugimanuru dengan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Makassar. Masyarakat Pulau Muna, didalamnya terdapat tiga kabupaten, yakni Muna, Muna Barat dan Buton Tengah yang sebelumnya bergantung pada jalur darat dan laut, merasakan angin segar yang menerpa harapan mereka. Dengan ATR 72-500, pesawat turboprop yang memiliki kapasitas lebih besar dan jangkauan yang lebih luas, kini mereka bisa kembali terhubung ke dunia luar.

Pada 17 Juli 2017, Garuda Indonesia turut memperkuat konektivitas udara di wilayah tersebut. Namun, sekali lagi, harapan itu harus menunggu, dihadapkan pada berbagai tantangan yang tak terelakkan. Pada 8 Januari 2021, Citilink mencoba kembali membuka penerbangan dari Bandara Sugimanuru, namun lagi-lagi, upaya ini tidak mampu terbang tinggi. Permintaan penumpang yang rendah dan harga tiket yang melambung membuat penerbangan ini gagal untuk bertahan. Pada 1 Desember 2023, Wings Air, satu-satunya maskapai yang tersisa, mengumumkan penghentian operasionalnya, membuat bandara ini kembali terhenti dalam ketidakpastian yang tak terhindarkan.

Namun, seperti udara yang tak pernah berhenti bergerak, harapan itu belum padam. Pada 21 Maret 2025, Wings Air dijadwalkan kembali mengoperasikan penerbangan ke Bandara Sugimanuru, kali ini dengan pesawat ATR 72-600, jenis pesawat yang lebih canggih dan mampu melayani lebih banyak penumpang serta menempuh rute yang lebih jauh. Kembalinya ATR 72-600 diharapkan membawa kehidupan baru bagi bandara ini, menghidupkan kembali harapan yang hampir sirna.

Kini, Bandara Sugimanuru telah dipersiapkan dengan segala kelengkapan yang dibutuhkan untuk menghadapi masa depan yang lebih cerah. Landasan pacu sepanjang 1.600 meter dengan lebar 30 meter telah diperkuat dengan lapisan hotmix, memungkinkan bandara ini melayani pesawat-pesawat yang lebih besar, seperti ATR 72-600. Selain itu, sistem navigasi modern, terminal penumpang yang lebih luas, terminal kargo, hanggar, serta sistem keamanan yang lebih canggih telah terpasang dengan sempurna, siap untuk menyambut masa depan.

Kepala Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Sugimanuru, Mohamad Khusnudin, menegaskan bahwa dukungan dari pemerintah daerah adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan operasional bandara ini.

“Dukungan kuat dari instansi lokal sangat penting untuk memastikan stabilitas operasional bandara. Jika dukungan ini tetap ada, kami yakin penerbangan bisa berjalan stabil dan lancar,” ujar Khusnudin, Selasa (18/2).

Namun, satu pertanyaan besar tetap menggantung: Akankah Bandara Sugimanuru kali ini mampu terbang secara berkelanjutan, ataukah ia akan kembali terjebak dalam siklus ketidakpastian yang sudah terlalu lama menghantuinya?

Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada sinergi yang kokoh antara pemerintah daerah, maskapai penerbangan, dan masyarakat. Bersama, mereka harus memastikan bahwa bandara ini tetap terbang, membuka cakrawala baru bagi Pulau Muna, menghubungkan wilayah ini dengan dunia luar, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

Sebagai saksi perjalanan panjang Pulau Muna, Bandara Sugimanuru kini membuka lembaran baru. Harapan besar menyertai setiap langkah yang diambil, agar bandara ini dapat terus beroperasi, membuka konektivitas, serta mendukung pertumbuhan ekonomi di Muna Barat dan sekitarnya.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!
Exit mobile version