Daerah  

Flu Minum Antibiotik? Mahasiswa Apoteker UHO Ini Bongkar Mitos yang Salah Kaprah

Foto bersama usai kegiatan sosialisasi DAGUSIBU dan edukasi penggunaan antibiotik yang bijak oleh mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker UHO Angkatan XIII bersama warga Desa Nanga-Nanga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, Rabu (14/5). Foto: Dok. Istimewa.

Kendari – Masih banyak masyarakat yang mengira semua penyakit, termasuk flu dan batuk ringan, bisa disembuhkan dengan antibiotik. Padahal, keyakinan itu keliru dan justru memperparah risiko resistensi antibiotik.

Hal ini menjadi salah satu poin edukasi penting yang disampaikan lima mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Angkatan XIII Universitas Halu Oleo (UHO) dalam kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PKPA) di poskel (posyandu keliling) yang dihadiri oleh ibu hamil dan anak-anak, di Desa Nanga-Nanga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, pada Rabu (14/5).

Melalui kegiatan bertema “Sosialisasi dan Evaluasi DAGUSIBU serta Penggunaan Antibiotik yang Bijak”, para mahasiswa berupaya meluruskan pemahaman keliru di masyarakat terkait penggunaan antibiotik. Mereka adalah Jakhir Setiawan Jupri, Mei Yana Fatimah, Nesti Agnesia, Rahmawati, dan Rosdiana S.

Salah satu fokus utama edukasi mereka adalah resistensi antibiotik, yaitu kondisi ketika bakteri tidak lagi mempan terhadap antibiotik.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), resistensi antimikroba diperkirakan menyebabkan 1,91 juta kematian setiap tahun pada 2050, dan 8,22 juta lainnya akan meninggal akibat penyakit terkait resistensi. Bahkan, lebih dari 65 persen kematian itu akan terjadi pada orang berusia 70 tahun ke atas.

“Banyak masyarakat yang belum memahami bahwa mengonsumsi antibiotik tanpa resep dokter, tidak menghabiskan dosis, atau menyimpannya untuk digunakan nanti justru memperkuat bakteri untuk bertahan. Akibatnya, infeksi biasa pun bisa menjadi sulit diobati,” jelas Nesti Agnesia dalam sesi tanya jawab bersama warga.

Ia juga menyoroti kesalahan umum yang kerap terjadi dalam penanganan penyakit ringan.

“Banyak warga masih percaya bahwa antibiotik adalah obat untuk semua jenis sakit, termasuk flu dan batuk ringan. Padahal, itu adalah infeksi virus yang tidak membutuhkan antibiotik,” tambahnya.

Kegiatan berlangsung interaktif. Ibu-ibu peserta mendapatkan simulasi cara membaca label obat, menyimpan obat cair dan tablet dengan benar, serta mendiskusikan dampak penyalahgunaan antibiotik.

Mereka juga menerima leaflet edukasi dan diberi kesempatan untuk berkonsultasi langsung.

Dalam kegiatan tersebut, para mahasiswa juga memperkenalkan kampanye nasional DAGUSIBU, singkatan dari Dapatkan, Gunakan, Simpan, dan Buang Obat dengan Baik, yang diinisiasi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Kampanye ini bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat agar memperlakukan obat secara tepat dan aman di tingkat rumah tangga.

“Harapannya, edukasi ini bisa diterapkan di rumah. Warga mulai lebih hati-hati membeli dan menggunakan obat, serta menyadari pentingnya peran apoteker dan tenaga kesehatan dalam setiap tindakan pengobatan,” ujar Rahmawati.

Program ini mendukung Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dan program nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) dari Kementerian Kesehatan RI yang telah berjalan sejak 2017.

Para mahasiswa berharap masyarakat Desa Nanga-Nanga dapat menjadi pionir dalam penerapan bijak DAGUSIBU dan penggunaan antibiotik yang benar di tingkat keluarga.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!