Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Haluoleo Kendari, Dr Bahtiar, mengkritik pernyataan Kepala Dinas Kominfo Sultra, Ridwan Badallah, yang menyebut aksi Guburnur Ali Mazi menghamburkan uang di gala dinner HUT Buton Utara sebagai saweran dan merupakan tradisi.
Dr Bahtiar menyebut, Ridwan Badallah tak faham apa itu tradisi. “Itu lagi, kepala dinasnya itu tidak ngerti, tidak faham apa itu tradisi. Ngomong sembarang juga itu kadis. Harus memberi informasi yang baik lah ke publik, ini justru memperkeruh suasana saya liat ini,” kata Dr Bahtiar dihubungi wartawan, Minggu (3/7).
Dosen Fisip UHO ini menyebut dengan tegas bahwa apa yang dilakukan oleh Gubernur dan Ketua DPRD Sultra bukan tradisi.
“Itu bukan tradisi, justru itu memperlihatkan sikap kesombongan. Kalau itu tradisi atau sebagai orang dermawan, ya kumpul lah masyarakat tidak mampu atau yatim piatu baru bagikan amplop. Dan itu bukan sesuatu yang baik diperlihatkan seorang pejabat. Sangat disayangkan,” katanya.
“Ini kalau kita punya pejabat setingkat gubernur dan setingkat ketua DPRD provinsi bersikap seperti itu, bagaimana di mata masyarakat,” imbuhnya.
Pernyataan Kadis Kominfo, menurut Bahtiar, justru menunjukan pemikiran yang dangkal. Menurutnya, tradisi yang sebenarnya harus memiliki nilai kebaikan.
“Pernyataan itu justru memperlihatkan pemikiran yang sangat dangkal sebagai kepala dinas. Masa begitu tradisi, tradisi dimana dia lihat seperti itu. Tradisi itu sesuatu yang punya nilai, nilai itu sifatnya kebaikan. Dan nilai itu turun temurun, kok ini tradisi begitu, hambur uang. Itu bukan tradisi, itu malah memperlihatkan kesombongan. Kalau dia tidak faham dan ngerti lebih baik diam saja,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Sulawesi Tenggara, Ridwan Badallah, memberikan klarifikasi terkait video viral Gubernur Ali Mazi bersama sejumlah pejabat lain menghamburkan uang di gala dinner HUT Buton Utara ke-15.
Menurut Ridwan, apa yang dilakukan gubernur merupakan saweran yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat.
“Kita di Indonesia memberi uang sebagai hadiah sudah lumrah dalam sebuah perayaan, seperti Idulfitri, imlek, perayaan pernikahan, kegiatan melayat, termasuk berbagai kegiatan tradisi lainnya,” kata Ridwan dalam keterangan resminya, Minggu (3/7).
“Kalau perayaan hari raya kita kenal dengan istilah THR atau tunjangan hari raya. Kalau imlek dikenal istilah angpao. Dalam sebuah hajatan di daerah Jawa dikenal dengan istilah nyawer sedangkan di daerah Buton dikenal dengan istilah Pasali,” sambungnya.
Pasali inilah, lanjut Ridwan, yang dilakukan oleh Gubernur Sultra kepada masyarakat sebagai wujud kegembiraan dan harapan nasib baik bagi penerimanya maupun yang memberi.
Sekaligus sebagai wujud syukur dan bahagia atas moment yang digelar saat itu, yang kala itu kebetulan berada dalam momen acara gala dinner peringatan HUT Butur.
“Yang dilakukan Gubernur adalah tradisi masyarakat Indonesia dalam meluapkan kegembiraan pimpinan terhadap masyarakatnya dalam suatu peristiwa perayaan HUT, sekaligus ungkapan rasa syukur dan terimakasih atas kehadiran mereka di acara tersebut dan bisa merasakan kegembiraan bersama masyarakat setempat,” katanya.
Ridwan mengakui, seiring perkembangan zaman dan kehidupan sosial masyarakat, tradisi nyawer atau Pasali tersebut juga mengalami perkembangan atau perubahan, yang dahulu hanya berwujud uang, kini bisa diubah dalam bentuk apa saja, selama pemberian tersebut dinilai dibutuhkan oleh masyarakat atau penerima serta mampu memberikan rasa gembira serta syukur bagi kedua belah pihak.
Ridwan memberikan contoh perkembangan kegiatan nyawer atau pasali yang dilakukan oleh orang nomor satu di Indonesia Joko Widodo, yakni mengganti pemberian tersebut dari bentuk uang ke pakaian seperti baju kaos dengan cara melemparkan kepada masyarakat.
Bahkan tidak tanggung-tanggung Presiden biasanya langsung memakaian kepada masyarakat terpilih. Ini dilakukannya hampir setiap kali berkunjung ke daerah-daerah, sebagai bentuk kegembiraan Bapak Presiden RI karena bisa datang ke daerah tersebut dan bertemu masyarakat yang juga menyambutnya ataupun menghadiri kunjungan Presiden RI.
“Jadi inilah salah satu budaya kita, yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Budaya suatu daerah tentu mempunyai ciri khas yang membedakan dengan daerah lainnya atau bahkan terkadang hampir sama namun penyebutan untuk tradisi tersebut yang berbeda. Seperti nyawer dan Pasali tadi, tidak lain dilakukan sebagai wujud rasa bahagia, syukur, dan saling berbagi rejeki, tanpa ada batasan nilai yang diberikan kepada masyarakat,” jelasnya.
Ridwan pun meminta kepada semua pihak untuk bijak dalam menanggapi video yang sengaja dibagikan secara berulang-ulang tersebut, karena bisa menimbulkan keengganan pejabat atau pihak-pihak lainnya yang ingin meluapkan kebahagian dan rasa syukur dengan berbagi kepada masyarakatnya dalam sebuah peringatan atau pesta bersama rakyat.
“Jadi kami berharap kepada semua pihak, untuk bijak dalam menanggapi video tersebut. Positiflah dalam memandang video tersebut, sebab Pak Gubernur bisa mengajak pejabat lainnya melakukan hal yang sama dalam memberikan rasa gembira kepada masyarakatnya,” katanya.
“Ini merupakan contoh kecil, dimana bapak gubernur sebagai eksekutor bisa menggerakkan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, dengan melibatkan peran serta pejabat lainnya, seperti Ketua DPRD Provinsi Sultra sebagai representasi legislatif dan Bupati Butur sebagai kesatuan dari pelaksanaan kebijakan Pemprov Sultra di daerah,”
“Saya kira, inilah makna yang bisa kita ambil bersama. Dan hasilnya, seluruh pihak termasuk masyarakat Sultra dapat menyaksikannya dengan sejumlah pembangunan mega proyek di Sultra,” pungkasnya.
Editor: Wiwid Abid Abadi