News  

Hutan Mangrove Muna Barat: Kecil di Bibir Pantai, Besar di Kegelapan

Hutan Mangrove di Muna Barat, Sulawesi Tenggara mengalami ancaman serius. Foto: Denyi Risman/Sultranesia.com.

Muna Barat – Hutan mangrove yang luas dan berharga di Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara menghadapi ancaman serius. Ekosistem ini merupakan pelindung garis pantai dan habitat penting bagi berbagai spesies. Namun, kerusakan akibat aktivitas manusia memerlukan perhatian dan upaya kolaboratif untuk menjaga kelestariannya.

Carles, Kepala Seksi Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara, mengungkapkan bahwa luas hutan mangrove Muna Barat pada tahun 2024 melebihi 8.095 hektar. Namun, ia tidak memiliki data pada tahun sebelumnya. Carles menilai bahwa data luas hutan mangrove di Muna Barat dari tahun ke tahun tetap sama.

Sejak 2021, Carles dan timnya meluncurkan program rehabilitasi mangrove yang ambisius. Ribuan bibit telah ditanam di desa-desa seperti Umba, Lahaji, dan Kasakamu. Setiap bibit adalah langkah kecil menuju pemulihan ekosistem yang telah lama rusak.

“Pada tahun 2021, rehabilitasi dilakukan di Desa Umba, Lahaji Kecamatan Napano Kusambi, dan Desa Kasakamu Kecamatan Kusambi dengan total 45 hektar; pada tahun 2022 di Tasipi, Kecamatan Tiworo Utara seluas 35 hektar; dan pada tahun 2024, sekitar 10 hektar di Desa Tanjung Pinang, Kecamatan Kusambi,” bebernya.

Program ini merupakan bagian dari usaha besar untuk mengatasi kerusakan lingkungan. Namun, mereka sering menghadapi kendala, seperti kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya mangrove, serta keterbatasan anggaran dan sumber daya. Meskipun ribuan pohon telah ditanam, hasilnya tidak selalu memuaskan karena masyarakat belum sepenuhnya memahami peran vital mangrove.

Desa Tanjung Pinang menjadi lokasi terbaru program rehabilitasi. Di sini, tim BPDAS Sampara bersama masyarakat setempat menanam mangrove di area seluas 10 hektar. Kawasan ini sebelumnya terkena dampak konversi lahan dan aktivitas manusia yang menambang pasir. Melalui kerja sama dengan penduduk lokal, program ini tidak hanya menanam pohon tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pelestarian lingkungan.

Kontroversi mengenai sertifikasi kawasan mangrove memperumit situasi. Subakti, Kepala Bidang Pengembangan Usaha Perikanan Budidaya di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna Barat, menghadapi masalah terkait sertifikasi lahan. Di Desa Barakkah dan Desa Lakabu, kawasan mangrove telah mendapatkan sertifikat meskipun seharusnya kawasan tersebut tidak digunakan untuk tambak.

“Kami telah menanyakan ke BPN Muna Barat mengenai sertifikasi ini, dan mereka menyatakan bahwa semuanya telah ‘clear’,” jelas Subakti.

Ketidaksesuaian antara sertifikasi dan penggunaan lahan menambah kerumitan dalam upaya pelestarian.

Kondisi ekosistem mangrove di Muna Barat menunjukkan gambaran campur aduk. Tanaman mangrove besar, yang seharusnya berfungsi sebagai pelindung pantai dan habitat satwa, banyak digunakan untuk keperluan bangunan rumah oleh masyarakat. Meski demikian, pertumbuhan mangrove saat ini menunjukkan pemulihan, dengan banyaknya anakan yang muncul dari tanaman yang ditebang, meskipun umurnya masih di bawah 4-5 tahun.

Selama 15 tahun terakhir, luas hutan mangrove di Muna Barat masih menurut Subakti tergolong stabil, karena tidak adanya perkembangan baru dalam proyek percetakan tambak. Namun, pemanfaatan tanaman mangrove yang lebih tua untuk konstruksi bisa mengganggu keseimbangan ekosistem jangka panjang.

Subakti juga menambahkan bahwa data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna Barat tahun 2019 mencatat luas hutan mangrove di Muna Barat mencapai kurang lebih 6.343 hektar. Data ini menunjukkan perbedaan dengan estimasi luas hutan mangrove saat ini yang mencatat lebih dari 8.095 hektar. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti perubahan penggunaan lahan, konversi untuk tambak, atau metode pengukuran yang berbeda dari waktu ke waktu.

Ketegangan muncul antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Banyak masyarakat di Muna Barat bergantung pada tambak sebagai sumber penghidupan, tetapi pertumbuhan tambak yang tidak terkendali sering merusak hutan mangrove.

Hasan, seorang petani tambak dari Desa Lasama, Kecamatan Tiworo Kepulauan mengungkapkan keprihatinannya. Tambaknya, yang berada di kawasan hutan bakau, belum memiliki sertifikat resmi.

“Kami belum memiliki sertifikat untuk tambak kami,” kata Hasan. “Ketiadaan sertifikat membuat kami menghadapi risiko hukum dan ketidakpastian tentang masa depan tambak kami.”

Ketegangan ini menciptakan konflik batin. Hasan memahami pentingnya menjaga hutan bakau tetapi juga perlu mencari nafkah. “Kami berharap ada solusi yang memungkinkan kami untuk terus berusaha sambil tetap menjaga lingkungan,” tambahnya.

Mengatasi kebutuhan untuk melestarikan mangrove dan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat menjadi tantangan yang harus dipecahkan dengan bijaksana.

Dalam penelitian terbaru yang diterbitkan di Journal of Natural Resources and Environmental Management oleh tim dari Institut Pertanian Bogor diantaranya Rahman, Yusli Wardiatno, Fredinan Yulianda dan Iman Rusmana yang dipublikasikan tahun 2020 mengungkapkan kondisi terkini dari ekosistem mangrove di wilayah tersebut, menyoroti perubahan dalam sebaran spesies dan kerapatan hutan mangrove yang penting ini.

Penelitian yang dilakukan dari Januari hingga Desember 2019 ini menunjukkan bahwa pesisir Kabupaten Muna Barat masih memiliki sepuluh spesies mangrove, termasuk Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata. Meskipun spesies-spesies ini masih ada, total kerapatan mangrove di daerah tersebut menunjukkan kategori rendah dengan rata-rata 752 pohon per hektar, jauh di bawah kriteria kerapatan sedang hingga padat yang lebih ideal.

Salah satu temuan utama dari studi ini adalah penurunan drastis dalam kerapatan mangrove yang disebabkan oleh proyek-proyek pembangunan, seperti pembangunan tambak dan infrastruktur, yang telah mengurangi luas area hutan mangrove. Penurunan ini berdampak signifikan pada struktur ekosistem dan kesehatan lingkungan, yang sebelumnya dikenal memiliki kerapatan mangrove antara 1000 hingga 1500 pohon per hektar.

Dalam penelitian itu tertulis, perubahan ini bukan hanya berdampak pada spesies mangrove, tetapi juga pada fungsi ekosistem secara keseluruhan. Mangrove memiliki peran penting sebagai pelindung pesisir, penyerap karbon, dan habitat berbagai spesies laut. Penurunan kerapatan ini berpotensi mengganggu keseimbangan ekologis dan mengurangi manfaat ekologis yang disediakan oleh ekosistem mangrove.

Dalam wawancara eksklusif Rahman, sebagai salah satu peneliti pada jurnal tersebut berusaha memberikan pandangan ilmiah tentang kondisi ekosistem mangrove di Muna Barat.

Rahman yang merupakan alumnus program doktoral ilmu pengelolaan pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor dengan predikat terbaik, mengungkapkan bahwa ekosistem mangrove di wilayah ini terdiri dari kelompok pohon dan tumbuhan semak-semak yang hidup di habitat bakau dengan adaptasi khusus terhadap pasang surut.

“Hutan mangrove di Muna Barat berdasarkan penelitian saya seluas lebih dari 5.000 hektar. Ekosistem ini memiliki fungsi ekonomi, fisik, dan ekologi yang sangat penting,” ujar Rahman yang juga Dosen Ekologi Mangrove di Universitas Pattimura, Ambon.

Mangrove memberikan manfaat ekonomi melalui kayu bakar, bahan bangunan, pewarna batik, dan obat-obatan. Secara fisik, mangrove berfungsi sebagai perangkap sedimen dan penahan ombak. Fungsi ekologi meliputi daerah asuhan, pemijahan, dan tempat mencari makan bagi berbagai biota seperti ikan, udang, kepiting, dan kerang.

Namun, penelitian juga menunjukkan tekanan akibat pembangunan dan konversi lahan. Rahman menjelaskan, “Proyek pembangunan seperti dermaga, jalan, dan pemukiman berdampak negatif pada ekosistem ini. Penurunan luas dan kerapatan mangrove menunjukkan nilai kepekaan lingkungan yang tinggi.”

Berdasarkan penelitiannya di lapangan, hutan mangrove di Muna Barat mengalami degradasi terutama di Desa Kembar Maminasa, Kecamatan Maginti di mana terdapat pembangunan tambak yang tidak dimanfaatkan. Ada sekitar 100 hektar di sana yang berkembang menjadi kritis karena dikonversi menjadi tambak namun tidak dimanfaatkan.

“Di Desa Tanjung Pinang, kerusakan mangrove disebabkan oleh penambangan pasir yang mengganggu kondisi mangrove meskipun tidak menebang langsung,” terangnya.

Terkait penanganan hutan mangrove, Rahman menyoroti pentingnya peraturan dan pedoman yang ada sebagai faktor kunci dalam pengelolaan dan perlindungannya.

“Banyak aturan yang tumpang tindih, sehingga harus ada aturan yang jelas dalam hal ini, agar daerah punya andil besar mengelola hutan mangrove-nya,” katanya.

Pria kelahiran Pulau Maginti, Kabupaten Muna Barat ini menawarkan solusi potensial bagi pemerintah daerah untuk mengatasi banyaknya tantangan ini. Salah satunya adalah memanfaatkan pasar karbon sebagai sumber pendapatan di masa depan. Daerah perlu mendapatkan sertifikasi stok karbon dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar dapat menjualnya di bursa karbon. Sertifikasi ini berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim dan evaluasi penyerapan karbon, yang dapat memberikan tambahan sumber daya untuk kegiatan konservasi.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon mengatur mekanisme perdagangan karbon secara detail. Menurut pasal 3 peraturan ini, pihak yang dapat terlibat dalam perdagangan karbon meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat.

Ada lima skema perdagangan karbon yang diatur: cap and trade, carbon offset, pembayaran berbasis kinerja, pungutan karbon, dan mekanisme lain yang sesuai dengan perkembangan teknologi. Salah satu contoh nyata adalah skema pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment, seperti kerja sama penurunan emisi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan pemerintah Norwegia.

Namun, Rahman mencatat bahwa masalah utama adalah anggaran yang diterima negara sering kali tidak sampai ke daerah, sementara daerah merupakan garda terdepan dalam pelaksanaan program konservasi. Ketidakcukupan anggaran sering menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian yang efektif. Di tingkat kabupaten, anggaran untuk reboisasi dan konservasi mangrove sering kali tidak mencukupi untuk mencakup seluruh area yang memerlukan rehabilitasi.

Oleh karena itu, Rahman menekankan pentingnya integrasi peraturan dari tingkat provinsi ke daerah dengan suntikan anggaran yang jelas, agar daerah dapat bertindak efektif dan membuat kebijakan yang tepat.

Secara keseluruhan, pemeliharaan hutan mangrove di Muna Barat memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan kolaboratif. Pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan yang ada dan memastikan bahwa hutan mangrove tetap menjadi bagian integral dari ekosistem pesisir. Upaya konservasi yang efektif tidak hanya akan melindungi lingkungan tetapi juga memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal dan keberlanjutan ekosistem secara keseluruhan.


Laporan: Denyi Risman

error: Content is protected !!