IJTI Sultra Kecam Dugaan Intimidasi terhadap Jurnalis oleh Propam Polresta Kendari

Ilustrasi demo tolak kriminalisasi pers. Foto: Dok. Istimewa.

Kendari – Kebebasan pers kembali mendapat ujian. Dua jurnalis di Kendari diduga mengalami intimidasi dari penyidik Propam Polresta Kendari setelah memberitakan dugaan kasus kekerasan seksual yang diduga melibatkan oknum kepolisian berinisial AM.

Alih-alih menindak tegas terduga pelaku, aparat justru diduga menekan jurnalis dengan dalih meminta keterangan. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara mengecam tindakan ini melalui pernyataan tertulisnya, Jumat (21/2).

Dua jurnalis tersebut adalah Samsul (Tribunnews Sultra) dan Nur Fahriansyah (Simpul Indonesia). Mereka diminta memberikan keterangan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai saksi pada 3 Februari 2025.

Awalnya, Samsul dan Nur Fahriansyah menolak. Namun, setelah diduga mengalami tekanan, mereka akhirnya diperiksa selama lima jam terkait proses peliputan dan informasi dari narasumber korban dugaan kekerasan seksual.

Tak hanya itu, mereka juga menerima surat panggilan pemeriksaan dari Propam Polresta Kendari.

Hak Tolak Jurnalis Dilanggar

Dalam dunia jurnalistik, narasumber adalah nadi, dan kebebasan pers adalah nyawa. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjamin Hak Tolak bagi jurnalis untuk tidak mengungkap identitas atau keterangan narasumber yang dirahasiakan.

Pasal 4 Ayat (4) UU Pers menegaskan bahwa Hak Tolak digunakan jika jurnalis dimintai pertanggungjawaban hukum atas karya jurnalistiknya. Hak ini bertujuan melindungi sumber informasi, kecuali dicabut oleh pengadilan dengan alasan ketertiban umum atau keselamatan negara.

Namun, dalam kasus ini, IJTI Sultra menyebut bahwa penyidik Propam Polresta Kendari diduga melangkahi batas dengan memaksa jurnalis menjadi alat hukum untuk menjerat seseorang. Tindakan ini dinilai bertentangan dengan prinsip jurnalistik dan UU Pers.

Jika praktik ini dibiarkan, bukan hanya kebebasan pers yang terkoyak, tetapi juga kepercayaan narasumber terhadap media akan luntur.

IJTI Sultra Ambil Sikap

Melihat ancaman terhadap kebebasan pers ini, IJTI Sultra mengambil sikap tegas:

1. Mengecam dugaan intimidasi oleh penyidik Propam Polresta Kendari terhadap jurnalis Tribunnews Sultra dan Simpul Indonesia.

2. Mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara untuk mengevaluasi Kapolresta dan Kasi Propam Polresta Kendari atas dugaan pembiaran dan ketidakpahaman terhadap UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.

3. Meminta kepolisian mencabut surat panggilan terhadap jurnalis, karena karya jurnalistik adalah kesaksian itu sendiri, dan jurnalis tidak boleh dipaksa menjadi saksi.

4. Meminta Kapolresta Kendari menyampaikan permintaan maaf atas dugaan tindakan intimidasi yang dilakukan oleh Kasi Propam dan penyidiknya terhadap jurnalis.

5. Mengimbau seluruh jurnalis untuk tetap teguh memegang kode etik jurnalistik dan UU Pers dalam menjalankan tugasnya.

Kronologi Dugaan Intimidasi terhadap Jurnalis

Kasus ini bermula dari pemberitaan terkait dugaan pelecehan seksual yang diduga melibatkan oknum polisi AM terhadap seorang perempuan yang telah bersuami.

Pada Kamis (30/1), Samsul dan Nur Fahriansyah mewawancarai korban dan suaminya. Sehari setelahnya, sebelum berita diterbitkan, mereka berusaha mengonfirmasi kasus tersebut ke Propam Polda Sultra dan terduga pelaku, tetapi nomor AM sudah tidak aktif.

Pada Senin (3/2) pukul 13.00 WITA, setelah berita ditayangkan, Samsul dan Nur dipanggil ke Propam Polresta Kendari. Mereka mengira pemanggilan itu untuk memberikan hak jawab, tetapi kenyataannya berbeda.

Sesampainya di sana, mereka diduga mendapat tekanan dan diminta memberikan BAP terkait informasi narasumber yang termuat dalam pemberitaan Tribunnews Sultra dan Simpul Indonesia.

“Sebelum dimintai keterangan, saya dan Nur sempat menolak. Kami sudah menjelaskan kepada penyidik bahwa kami hanya memberitakan, dan wartawan tidak bisa dimintai keterangan,” ujar Samsul.

Namun, penyidik tetap bersikeras dengan dalih hanya ingin menggali informasi awal. Setelah berdebat panjang, mereka akhirnya menjalani pemeriksaan selama berjam-jam.

“Terakhir, setelah diperiksa, kami dimintai tanda tangan oleh penyidik. Kami tidak mengerti apakah itu BAP, tetapi kata penyidik itu hanya keterangan biasa,” ujar Samsul.

Tak berhenti di situ, pada Jumat (21/2), Samsul dan Nur kembali menerima surat panggilan dari Propam Polresta Kendari dengan nomor Spg/06/II/HUK.12.10.1/2025/Sipropam untuk menjadi saksi dalam kasus tersebut.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!