Opini  

Investasi Hulu ke Hilir dalam Perspektif Keselamatan dan Kesehatan Kerja

dr Agriawan Al Hikmah Rianda B.

Oleh: dr Agriawan Al Hikmah Rianda B

“Para Investor hari ini membutuhkan empat hal: kepastian, kecepatan, transparansi, dan efisiensi”. Demikian kutipan kalimat dari Kepala BKPM, Bung Bahlil Lahadalia di channel Youtube Resmi Kementerian Investasi-BKPM. Keempat poin ini menjadi sangat penting untuk dihadirkan, mengingat salah satu prioritas pemerintah hari ini adalah percepatan investasi pasca pandemi Covid.

Jenis industri apapun pada skala usaha kecil hingga besar sangat bersyukur jika pemerintah mampu menyeriusi ini. Sehingga dalam implementasinya, para investor maupun pengusaha lokal dapat memproyeksikan Break Even Point and Return on Investment dengan aman dan nyaman.

Sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, di dalam salah satu pasalnya menyebutkan adanya larangan untuk mengekspor bahan galian dalam bentuk bahan baku. Dengan kata lain bahwa sebelum diekspor, bahan baku harus melalui proses pengolahan menjadi barang setengah jadi. Artinya harus ada pabrik pengolahan di dalam negeri dan hal ini menjadikan serapan tenaga kerja di Sulawesi Tenggara akan terus mengalami peningkatan.

Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki potensi sumber daya mineral logam dan non logam seperti nikel, emas, aspal, dll. yang tersebar di berbagai lokasi seperti Kolaka Utara, Konawe Utara, Konawe Selatan, Bombana dan di Pulau Buton. Pembangunan Smelter untuk industri pengolahan nikel menjadi bukti bahwa pemerintah telah mewujudkan komitmennya di aspek hilirisasi industri pertambangan, PT Virtue Dragon Nickel Industry dan PT Obsidian Stainless Steel di Kabupaten Konawe adalah salah satu yang terbesar di Indonesia dan dijalankan dengan skema Penanaman Modal Asing (PMA).

Bumi Anoa yang diproyeksikan sebagai daerah dengan prospek industri pertambangan yang cerah menjadikan sektor keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebagai salah satu aspek yang penting dan perlu diberi perhatian khusus, baik oleh pemerintah daerah maupun pengusaha tambang itu sendiri.

Jumlah kasus kecelakaan akibat kerja di industri pertambangan pada tahun 2018 di Indonesia mencapai angka 157.313 kasus. Menuju satu dekade Sulawesi Tenggara sebagai daerah tambang nasional,  kasus kecelakaan akibat kerja terus mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Data dari periode juli tahun 2019 hingga desember 2020 kecelakaan kerja khususnya pertambangan mineral yang terjadi di Sulawesi Tenggara berdasarkan data yang diolah dari berbagai sumber, setidaknya terjadi 12 kecelakaan kerja fatal korban meninggal dengan dominan tipe kecelakaan kerja akibat tertangkap pada area dalam dan diantara benda (terjepit, tergigit, tertimbun, tenggelam, dll).

Berita tentang kasus kecelakaan kerja di area pertambangan, khususnya tambang nikel di Sulawesi Tenggara seringkali hilang-timbul, entah apa penyebabnya. Satu hal yang pasti, merujuk ketentuan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, setiap kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja menjadi tanggung jawab perusahaan tempat pekerjaan itu dilaksanakan. Semua pihak akan dirugikan, terlebih bagi perusahaan. Apalagi jika sampai terekspos secara luas, setidaknya hal ini berpengaruh secara tidak langsung bagi kredibilitas perusahaan.

Jika satu kasus kematian dianggap sebagai sesuatu yang fatal, lantas mengapa kematian yang jumlahnya ribuan di pandang sebagai angka statistik belaka? Ini adalah aneh. Angka ini seharusnya telah di break down dan di temukan akar permasahannya, agar slogan zero accident tidak sekedar menjadi pemanis di lingkungan kerja. Suatu perusahaan wajib memiliki bidang Health, Safety, and Environment (HSE) dimana salah satu tugas pokoknya adalah menyediakan pelayanan Kesehatan Kerja meliputi pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, pemeriksaan berkala dan pemeriksaan khusus. Pembinaan dan pengawasan atas penyesuaian pekerjaan terhadap tenaga kerja. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja.

Kepatuhan akan tugas pokok ini akan memudahkan perusahaan untuk menentukan apakah seorang karyawan terkena Penyakit Akibat Kerja (PAK) atau Non-PAK, yang produk akhirnya adalah efisiensi bagi perusahaan itu sendiri dalam penatalaksanaan kasus kecelakaan kerja, PAK dan Non-PAK.

Sebagai profesi yang didalamnya memiliki cabang ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dokter memiliki tanggung jawab moril untuk mengambil peran baik dari sisi profesional kerja maupun mendorong regulasi demi mewujudkan Sulawesi Tenggara yang pro investasi dengan memprioritaskan keselamatan dan kesehatan bagi pekerjanya. Kami akan sangat mengapresiasi dan mendukung jika pemerintah provinsi memiliki regulasi khusus terkait penegakan di aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang tentunya ini akan sefrekuensi dengan Kepala BKPM, bagaimana pengusaha kita memperoleh kepastian, kecepatan, transparansi dan efisiensi.


*) Penulis Adalah Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Sulawesi Tenggara.

error: Content is protected !!