Jakarta – Kasus perusakan hutan untuk tambang nikel di Desa Oko-oko, Kecamatan Pomala, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, menyisakan tanda tanya besar. Dua tahun berlalu sejak penetapan tersangka, hanya satu nama yang berakhir di meja hijau, sementara satu lainnya seolah lenyap tanpa kabar.
Kasus ini bermula pada 13 November 2023, ketika Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan dua orang tersangka: Direktur PT Anugrah Group, Lukman, dan Komisarisnya, Anugrah Anca. Pengumuman itu disampaikan langsung oleh Dirjen Gakkum KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam konferensi pers di Kendari.
Keduanya saat itu dihadirkan ke publik mengenakan rompi oranye, tangan terborgol, dan wajah tertutup masker. Dalam pernyataannya, Rasio menegaskan bahwa keduanya terancam hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar karena terbukti melakukan kegiatan penambangan di kawasan hutan tanpa izin yang sah.
Lebih dari itu, KLHK juga menyiapkan jerat tambahan berupa perampasan keuntungan dan penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
“Penegakan hukum berlapis kami lakukan untuk menimbulkan efek jera. Kami tidak ingin kejahatan lingkungan seperti ini terus berulang,” tegas Rasio kala itu.
Pihak KLHK menyita 17 unit alat berat excavator dan menitipkannya di Rupbasan Kendari. Penyidik menyebut perusakan hutan di Oko-oko telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan lingkungan.
Namun perjalanan hukum kasus ini berjalan timpang. Hanya Lukman yang akhirnya diseret ke pengadilan. Ia duduk sendirian di kursi terdakwa, sementara nama Anugrah Anca —yang semula disebut sejajar tanggung jawabnya— perlahan hilang dari pemberitaan dan dokumen persidangan.
Pada 20 Mei 2024, Majelis Hakim menjatuhkan vonis kepada Lukman. Ia dinyatakan bersalah melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Lukman dijatuhi hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 2 miliar, dengan subsider kurungan dua bulan jika denda tidak dibayar.
Meski kini Lukman sedang berupaya melakukan kasasi di Mahkamah Agung, namun kasus ini terasa timpang karena hanya satu yang disidang, sementara Anugrag Anca tak pernah didakwa.
Vonis itu menimbulkan pertanyaan di kalangan publik dan pemerhati lingkungan. Mengapa hanya Lukman yang diproses hingga vonis? Ke mana Anugrah Anca? Padahal, sejak awal, keduanya diumumkan bersama sebagai tersangka dalam kasus yang sama, dengan bukti dan status hukum yang sepadan.
Hingga kini, belum ada kejelasan soal kelanjutan penanganan perkara Anugrah Anca. Kasusnya seolah mengendap di ruang gelap penegakan hukum. Ironisnya, nama Anugrah Anca kembali mencuat dalam kasus dugaan penambangan ilegal di PT Mandala Jayakarta, di mana ia disebut berperan sebagai kontraktor mining.
Pertanyaan besar masih menggantung: apakah hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas? Atau masih ada babak lanjutan yang belum tersingkap dari kasus perusakan hutan di Oko-oko ini?
Editor: Redaksi








