Kendari – Institute Sultra Public Policy (ISPP)
menanggapi kritik yang disampaikan Forum Advokasi Mahasiswa Hukum Indonesia atau Famhi soal program 100 hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Andi Sumangerukka dan Ir Hugua.
Menurut Direktur ISPP, Laode Rahmat Apiti kepada media ini, kritik tersebut patut disayangkan.
“Kritik terkait program 100 hari ASR-Hugua yang dikeluarkan Famhi dengan mengatakan bahwa tidak ada program yang serius dilaksanakan itu patut disayangkan. Yang perlu diketahui lebih dulu adalah, program 100 hari itu merupakan starting awal untuk mengurai berbagai probelamatika di Sulawesi Tenggara,” kata Rahmat, Selasa (10/6).
“Program 100 hari yang dicanangkan telah melalui berbagai kajian akademis serta melibatkan multi stakeholder. Program 100 hari sumbernya bukan dari ‘ramalan dukun’, tapi hasil dari berbagai kajian akademis dan tentu saja hasil akhirnya untuk kesejahtraan masyarakat,” sambungnya.
Menurut Rahmat, program 100 hari kerja kepala daerah tak bisa dijadikan parameter kegagalan dalam memimpin daerahnya, namun ini bisa dimaknai sebagai star awal dalam mengurai berbagai macam permasalahan yang selama ini ada.
“Kalau program 100 hari kerja dijadikan paramter kegagalan Gubernur dan Wakil Gubermur Sultra, itu terlalu dini. Bayi umur 3 bulan saja tangisannya belum sempurna, apalagi terkait dengan pembangunan,” katanya.
Rahmat menggambarkan, sejak dilantik, Guebrnur dan Wakil Gubernur sudah melakukan langkah nyata di beberapa sektor, bahkan langkah itu langsung menyentuh kebutuhan masyarakat pada saat itu juga.
“Beberapa masalah yang sering terjadi selalu diselesaikan dengan cepat, misalnya mudik gratis,THR bagi ASN golongan 1 dan 2, banjir di Konawe Utara, kalau agenda agenda tersebut berharap APBD belum akan terlaksana karena dalam APBD 2025 tidak teranggarkan, sehingga yayasan ASR yang bertindak cepat,” bebernya.
Lalu terkait kritik terhadap program beasiswa yang disebut terlalu ribet. Menurut Rahmat, bukan soal ribetnya, tetapi lebih pada selektif agar beasiswa tepat sasaran.
“Kalau katanya terlalu ribet itu tidak berlasan, sebab beasiswa bukan arisan, namun harus selektif sehingga penerima beasiswa tepat sasaran bagi mahasiswa yang berkualitas dan siapapun boleh mengajukan beasiswa asal memenuhi persyaratannya,” ucapnya.
Lalu terkait angka kemiskinan, menurut Rahmat, data yang dipaparkan Fahmi tidak relefan dan tidak jelas.
“Soal data kemiskinan yang dipaparkan Famhi, itu terlalu bombastis dan sumbernya tidak jelas, sebab angka kemisikinan di Sultra berdasarkan data BPS justru trendnya menurun. Kita lihat datanya di Tahun 2022, angkanya 11,17 persen, Tahun 2023 11,43 persen dan tahun 2024 itu 11,21 persen. Ada trend penurunan juga, jadi data yang disampaikan itu terlalu bombastis,” ungkapnya.
Menurutnya, kritik sah-sah saja disampaikan sebagai bahan evaluasi, namun juga harus dibarengi dengan data yang jelas.
“Kritikan dan masukan masyarakat terkait program 100 hari menjadi bahan evaluasi asal disertai dengan data-data yang sumbernya jelas dan kongkrit. Gubernur selalu mendengarkan berbagai aspiran dan kritikan masyarakat, silakan mengkritik asal disertai dengan solusi,” pungkasnya.
Editor: Redaksi