Berita  

Jatam Sebut Aktivitas PT WIN Masuk Situasi Ekstrem: Hentikan Sementara

Warga yang memprotes aktivitas PT WIN di Konawe Selatan. Foto: Dok. Istimewa.

Kendari – Sejumlah masyarakat Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) memprotes aktivitas penambangan nikel yang dilakukan PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) karena terlalu dekat dengan pemukiman.

Terkait protes tersebut, warga dan PT WIN kemudian melakukan mediasi pada Senin (9/10) pagi yang dihadiri langsung oleh Bupati Konsel, Surunuddin Dangga.

Mediasi tak menemui titik temu. Namun warga menyebut akan bersikukuh menolak aktivitas perusahaan karena alasan lingkungan.

Sementara itu, Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muj Jamil menyebut bahwa aktivitas PT WIN sudah masuk ketegori situasi ekstrem dan harus dihentikan sementara.

“Harusnya ini sudah masuk situasi ekstrem, penghentian sementara. Penghentian sementara bukan hanya dihentikan saja tapi dilakukan konsep perbaikan lahan, lalu perusahaan dipaksa harus bertanggung jawab dan yang bisa memaksa itu adalah pihak Menteri ESDM atau ESDM provinsi lewat inspektur tambang,” ungkap Muh Jamil dikutip dari Kendarikita.com, Senin (9/10).

Muh Jamil mengungkapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 sudah sangat jelas mengatur soal jarak minimal 500 meter menambang dari area pemukiman. Sehingga tidak ada alasan pembenaran secara hukum dan logika lingkungan untuk menambang di area pemukiman.

Menurut Muh Jamil, hal terpenting, konsep hukum dan aturan di negara tetap mengacu pada hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Apa gunanya investasi tapi mengorbankan rakyat setempat tanpa solusi yang jelas. Problem di dunia pertambangan jelas ada yang pro dan kontra antar masyarakat.

Masyarakat yang terima jelas ada solusi, namun bagaimana dengan masyarakat yang tidak terima, bagaimana masyarakat yang menerima tapi terkena dampaknya juga. “Ini harus ada jalan keluarnya, bukan karena masyarakat menerima dan kemudian berhak untuk dikorbankan, konsep logikanya bukan begitu, tetap harus berkaca pada aturan yang berlaku di negara ini,” ujarnya.

Menurutnya, di dalam dokumem Amdal sudah disusun sedemikian rupa, bagaimana mitigasi debunya supaya tidak masuk di rumah warga, serta pedoman menambang lainnya secara baik tanpa merugikan masyarakat dan lingkungannya, dan itu harus dilakukan semua perusahaan tambang, termasuk PT WIN.

“Jangan karena masyarakat menerima jadi mereka layak diberi debu, itu namanya kesesatan berfikir. Seberapa besar perusahaan memberikan sumbangsih ekonomis kepada masyarakat ketimbang manfaat atau keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang. Itu sangat sangat berbanding terbalik. Mestinya ongkos sosial itu harus besar dikeluarkan, karena menambang sifatnya merusak lingkungan dan dampaknya nanti yang rasakan masyarakat itu sendiri,”

“Bayangkan, pasca tambang atau selesainya perusahaan melakukan penambangan, masyarakat perlu menunggu lama bahkan hingga puluhan tahun untuk dapat kembali mengolah lahan yang sudah disedot mineralnnya, sembari menunggu proses pemulihan lingkungan yang cukup lama,”

“Harus ditempatkan yang namanya prinsip keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Kalau kami di Jatam, kalau masyarakat menerima ya mau bagaimana lagi, tapi jangan dijadikan tumbal sebagai agenda proyek tambang, mereka harus dicarikan jalan keluar terbaik, jangan juga mereka terima tambang jadi layak ditambang berserta rumahnya, kan bukan begitu konsepnya, dan rujukan kita ya pada aturan perundang-undangan,” tegasnya.

Untuk itu, Jatam meminta pemerintah dalam hal ini Penegak Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sultra, serta Inspektur Tambang untuk segera melakukan pengkajian dan penyelidikan mengenai kasus penambangan PT WIN di area pemukiman warga.

Gakkum LHK dan Inspektur Tambang, kata dia, mesti lebih tegas lagi menindak perusahaan yang tidak taat pada aturan penambangan nikel.

“Kerena mereka juga punya kewenangan, Jatam kembali meminta agar perusahaan didesak segera melakukan reklamasi di lokasi penambangan. Dimana reklamasi berlaku wajib dilaksanakan perusahaan secara berkelanjutan, tanpa harus menunggu proses penambangan selesai,”

“Kalau dari Jatam, pemberi izin berwenang untuk memberikan sanksi dan upaya paksa kepada perusahaan yang tidak taat aturan, dan jelas melanggar, kalau itu menganggu kehidupan masyarakat itu melanggar, artinya harus dihentikan dan mundur tidak bisa lagi, sanski terberat pencabutan izin Amdal, kalau itu tidak bisa juga beroperasi,” sambungnya.

Dalam prinsip hukum, lanjut dia, bentuk pelanggarannya sudah sangat jelas, sehingga meskipun perbaikan dan tanggung jawab perusahaan sudah dilakukan, tetapi tidak dapat menghilangkan dan menghapus perbuatan pidananya.

Muh Jamil mengatakan izin tambang hanya dapat diberikan pada wilayah-wilayah yang secara aturan tata ruang diperuntukan bagi tambang. Yang menjadi pertanyaan, apakah mengakomodir alokasi ruang tambang PT WIN di wilayah pemukiman. Ketika tidak, maka bisa berkonsekuensi pada tindakan administratif dan pidana.

“Pelanggaran administrasinya si pemberi izin harus melakukan pencabutan izin, konsekuensi pidana si pemberi izin, ternyata menerbitkan izin secara melawan hukum, bisa dibilang itu korupsi kewenangan dan kebijakan, tapi kita belum pastikan melanggar atau tidak,” ucapnya.

Muh Jamil mengingatkan pentingnya membaca Undang-Undang Minerba yang menyatakan bahwa izin tambang bukan izin kepemilikan lahan permukaan. Izin tambang nikel hanya diberikan izin oleh pemerintah untuk menambang nikel dibawah tanah, dipermukaan tetap milik masyarakat yang mendiami lokasi itu.

Dalam prosesnya, ketika ingin menambang wajib untuk melakukan beberapa hal secara hukum. Pertama karena sudah ada manusia tinggal, pasti ada kehidupan yang bergantung pada lokasi itu, makanya wajib perusahaan memiliki analisis mengenai dampak lingkungan dan perlu melibatkan masyarakat yang memadai pada saat penyusunan.

“Jangan dibikin diam-diam, Amdal itu adalah alat ukur untuk melihat apakah wilayah itu wajar ditambang atau tidak kalau dari hasil kajian mengatakan tidak, ya jangan nambang, itukan secara hukum kan,” katanya lagi.


Editor: Muh Fajar RA

error: Content is protected !!
Exit mobile version