Muna – Dugaan penyerobotan lahan petani kembali mencuat di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Dua lembaga besar, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Muna dan PT PLN (Persero), dituding mengakali hukum demi menguasai dua bidang tanah garapan warga yang telah dikelola sejak 1968.
Jufrudin, warga Desa Ghonebalano, Kecamatan Duruka, mengaku kaget saat mengetahui lahannya di Desa Lasunapa tiba-tiba diklaim oleh PLN dengan dalih rekomendasi Kepala BPN Muna bernomor MP.02.02/802.74.03/VI/2025.
“Awalnya ukuran tanah saya satu hektar dua belas ribu lima ratus meter persegi. Sekarang tinggal sembilan ribu meter persegi. Kalau Udin Gunti sekitar lima belas ribu meter persegi, sekarang tinggal sebelas ribu,” beber Jufrudin, Minggu (22/6).
Jufrudin menjelaskan bahwa keluarganya telah menguasai dan menggarap tanah itu sejak 1968, bahkan resmi menjadi warga sejak 1971, saat Ghonebalano dan Lasunapa masih berada dalam satu wilayah administratif.
“Kami bingung, kenapa kami yang sudah puluhan tahun garap tanah ini malah diminta menggugat mereka ke pengadilan,” katanya heran.
Kedua petani memiliki dokumen resmi berupa Surat Keterangan Tanah (SKT): Jufrudin dengan Nomor 022/LSP/IX/2013 dan Udin Gunti dengan Nomor 023/LSP/IX/2013. Keduanya terbit pada 5 September 2013. Di atas lahan itu kini berdiri ratusan pohon produktif: jati, jambu mete, mangga, dan kelapa.
“Keanehan ini bagi kami karena di kebun ini ada tanaman jangka panjang berusia puluhan tahun. Kami punya ratusan pohon produktif yang jadi bukti fisik penguasaan,” tegas Jufrudin.
Sorotan tajam juga datang dari Konsorsium Jaringan Kota (Jarkot) Sultra. Koordinator Advokasi Jarkot, Rasid Ramadan, mengecam keras dugaan keterlibatan PLN dan BPN dalam penebangan paksa tanaman milik petani.
“Ada puluhan pohon jambu mete, kelapa, dan jati milik petani miskin yang ditebang secara paksa. Ini bentuk nyata penindasan,” kata Rasid.
Jarkot menyoroti fakta bahwa sengketa ini sudah pernah diadili. Dalam Putusan Tipikor Nomor 25/Pid.Tipikor/2015/PN.Kdi, majelis hakim menyatakan SKT yang digunakan untuk mengklaim lahan tersebut adalah palsu.
Ironisnya, dokumen itu kembali digunakan sebagai dasar legitimasi oleh pihak PLN dan BPN.
Kasus itu bahkan sempat menyeret mantan Kepala Desa Lasunapa dan eks Kepala BPN Muna yang terbukti menerbitkan dokumen fiktif demi mendukung proyek PLTU tahun 2012.
Tindakan BPN dan PLN dinilai bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan serta Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak BPN dan PLN Muna belum memberikan tanggapan resmi.
Editor: Redaksi