Penulis: Muslih Saputra
Kecemasan pada Gen Zoomer atau Gen Z bukan menjadi fenomena baru, dan sudah sering kita jumpai di anak zaman akhir saat ini. Posisi remaja yang masih dalam tahap bertumbuh ini mempunyai sifat dan karekteristik ditahap mencari jati, belajar mandiri, gemar bermonukasi di dunia maya, egois dan ambisi, senang di puji, gampang bosan, namun masih rentan untuk dipengaruhi menjadikan mereka golongan yang rentan mengalami stress.
Hidup di era pesatnya perkembangan teknologi digital dengan ketersediaan yang luas dalam mengakses internet, tentunya hal ini membuatnya lebih aktif dengan dunia maya dibandingkan dengan dunia nyata dalam mencari sumber referensi atau suatu informasi saat ini.
Gen Z tidak lagi banyak terlibat aktif secara fisik dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Sudah menjadi lumrah budaya baru ini dengan segala aktifitas-aktifitas tertentu, seolah-olah apa yang mereka lihat di media sosial sudah menjadi kebenaran mutlak, “sama alaminya saat mereka bernafas” mampu menghabiskan waktu 8 -10 jam per harinya hanya untuk mengkonsumsi jajanan platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, Tik-tok dan Youtube, sehingga membuatnya menjadi malas dan jarang untuk bersosialisasi secara langsung dengan orang lain.
Sesorang dapat dikategorikan mengalami stres apabila dampak emosi, kognitif, maupun perilaku terus berlangsung selama lebih dari satu minggu. Begitu kata Psikolog Prof Dr Nurul Hartini. Cemas yang dirasakan secara berlebihan tentunya akan mengganggu kodisi kesehatan jiwa, otak, fisik, serta lingkungan sosial.
Umumnya kecemasan yang mereka alami terjadi akibat stress dari tekanan dalam diri maupun lingkungan luarnya. Tekanan bisa diakibatkan oleh aspek psikologis maupun filosofis. Sederhananya, seperti insomnia memikirkan karir, jodoh, rejeki dan gelisah melihat kesuksesan orang lain. Kelelahan atau trauma fisik karna bermain game, menonton youtube dan Tik-Tok, scrolling status Whatsaap, Instsagram melihat status “mantan makan malam sama pacar baru di restoran”.
Sering juga kita jumpai bagaimana jajanan media sosial dapat menjadi pengaruh tekanan stressor bagi generasi Z saat ini melalui konten-konten yang ada di dalamnya, adanya kecenderungan ikut terbawa arus perasan menghayati dan memikirkan gaya hidup beberapa tokoh influencer idolanya kedalam dirinya sendiri.
“Sa Bisa ji’kah jadi Influencer terkenal, kaya raya, punya rumah mewah, akun sosial mediaku centang biru, seperti Raffi Ahmad dan Nagita?, sa ingin juga libur – liburan “Sa Bisa ji’kah bekerja di perusahan terkenal di ibu kota? Sa Bisa ji’kah jadi anggota legislatif kalau perlu jadi pemimpin kepala daerah?
Betapa besar pengaruh media sosial dalam membentuk cara pandang baru dalam kehidupan saat ini. Pasalnya adanya ketidak sesuaian antara apa yang biasanya mereka lihat dan pikirkan di dunia maya dengan kehidupan nyatanya pada umumnya itu berbeda, sehingga hal tersebut mendorong pada tingkat emosi dan kecemasan-kecemasan yang berpariasi, seperti perasaan ragu, kurang percaya diri dan cenderung punya pikiran negatif terhadap dirinya sendiri (insecure).
Sering juga kita jumpai di media sosial, adanya keinginginan mereka untuk terus menerus mengupdate “momen” dan “tren” terkini, takut tertinggal karena tidak mengikuti aktifitas tertentu.
Generasi Z yang akrab dengan keseharian smartphone di tangannya baik di rumah, perjalanan, maupun tempat umum. Beberapa dari mereka bercita – cita smenjadi sosial media Influencer, salah satu cara instan menjadi terkenal yang memiliki pengaruh dengan pengikut jumlah besar, sekaligus cara mendapatkan pundi- pundi rupiah dari internet.
Generasi Z lebih banyak merasa stres dan cemas dibanding kelompok generasi yang lebih tua. Responden dari generasi Z yang merasa cukup cemas sebanyak 40 persen, cemas 23,3 persen, dan sangat cemas 5 persen, itu menurut survei Alvara Research Center.
Dari beberapa cirle tongkrongan Gen Z saat ini yang sering kita jumpai ketika dia ditanya mengenai cita-citanya, banyak dari mereka yang menginginkan untuk mengembangkan karier seperti membuka dan mengembangkan usaha sendiri, menjadi influencer, gamer, selebgram, youtuber, Vlogger dan tik-tokers. Betapa besar efek psikis dari media sosial pada Gen Z saat ini dalam membentuk cara pandang baru.
Perlunya alternatif kegiatan yang tepat untuk Gen Z dalam mencari kesenangan dan hiburannya saat ini, seperti refreshing ke tempat wisata, healing di alam, dan tentunya pemerintah mampu untuk mensosialisasikan dampak dari media sosial yang berlebih, juga memberikan ruang-ruang untuk berkreasi dan berkolaborasi, menyalurkan hobi, minat dan bakat dalam membantu mereka untuk lebih produktif dan inovatif.
“Pada situasi semu, yang serba itu-itu, menghayati yang dulu-dulu, lalu bersendu-sendu. Semakin boring dan jenuh.
Seharusnya kita bisa melakukan sesuatu, Meramu gagasan dan harapan yang ingin dituju. Sebab lingkaran waktu yang kita tumpu tak lagi mau menunggu.
Terkadang kita perlu sebuah lagu atau menonton pertunjukan baru, atau ke tempat tertentu, treveling dan refreshing, sebab hati yang pilu selalu butuh healing.
*) Seluruh isi dari opini ini menjadi tanggung jawab penuh dari penulis.