Oleh: Ahmed Maqbulah
Pemilihan umum (pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemilu dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil bertujuan untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat.
Sejak dimulainya tahapan Pemilu pada 14 Juni 2022, telah ramai perbincangan tentang perpanjangan masa jabatan Presiden, penundaan pemilu dan sampai pada isu lain yang masih relevan seperti perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup yang disuarakan oleh partai politik. Perbincangan ini tidak boleh dianggap main-main, sebab publik menilai dan akan memengaruhi kepercayaan publik terhadap pemilu yang akan datang.
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang Penundaan Pemilu dianggap bertentangan dengan kehendak UUD 1945 terkait jadwal penyelenggaraan pemilu, meskipun begitu bukan berarti putusan pengadilan tidak dihormati dan diabaikan begitu saja. Situasi politik ini sangat dilematis dan dapat melahirkan sensitivitas negatif ditengah masyarakat.
Amanah pelaksanaan pemilu tegas diatur dalam UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, bahwa pemilu hanya diselenggarakan lima tahun sekali. Atas dasar itu penundaan pemilu banyak mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, elite, dan lembaga penyelenggara pemilu.
Sensitivitas negatif dapat lahir dalam ruang interaksi publik dengan mengikis tolerasni keberagaman. Intolerasi dapat tumbuh akibat terjadinya pro-kontra yang tidak didasarkan pada data dan fakta, misal dalam menilai program pemerintah pusat atau daerah, atau perihal lain sehingga terjadi perang argumentasi di luar nalar yang terjadi dalam media komunikasi digital.
Perkembangan media komunikasi digital yang begitu cepat meciptakan ruang interaksi publik lebih bebas. Setiap waraga dapat menjadi jurnalis (citizen journalism) dengan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita.
Dalam ranah sosial politik, kebebasan menggunakan media sosial banyak dimanfaatkan untuk menyebarluaskan disinformasi dan propaganda perpecahan, misalnya kampanye hitam (black campaign) atau kampanye negatif (negative campaign) untuk menyudutkan lawan politik baik itu individu atau koalisi politik untuk membentuk kubu-kubu lewat sentiment negatif.
Prefarensi politik warganet di Indonesia berkarakter bounded rationality yang disebebkan oleh keterbatasan akses untuk memperoleh informasi. Keterbatasan informasi membentuk preferensi politik warganet menjadi instan dan pragmatis atau lebih cepat mempercayai informasi tanpa melakukan verifikasi kebenaran terlebih dahulu.
Berkaca pada pemilu 2019, media social menjadi sarana untuk mempengaruhi preferensi politik warga untuk menciptakan polarisasi politik, rakyat berhasil terdegradasi kedalam istilah cebong, kardun dan kampret. Istilah dalam polarisasi politik ini lahir sejak pilpres 2014 akibat perpecahan antara kubu Jokowi dan Prabowo lewat media social dengan menyebut Cebong sebagai identitas pendukung Jokowi dan Kampret untuk sebaliknya.
Terbatasnya regulasi penyelenggaraan pemilu dalam mengawasi kampanye digital menjadikan hoaks, cyber bullying hingga hate speech tetap eksis sebagai isu perpecahan di media social. Kampanye digital diluar ketentuan pemilu sulit dijerat dengan peraturan kepemiluan, pelanggaran pemilu hanya dapat ditindak apabila telah memenuhi ketentuan dalam peraturan pemilu.
Ketentuan pelanggaran pemilu dijelaskan dalam UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasal 454 ayat (4) pelanggaran baru dapat ditindak apabila ada pengaduan atau pelaporan terlebih dahulu kepada bawaslu mengenai adanya dugaan pelanggaran atau kelalaian dalam pelaksanaan pemilu. Laporan dan temuan harus memenuhi syarat formil dan materil dengan batas waktu penanganan yang terbatas selama 7 hari.
Pengawasan Pemilu Partisipatif
Pada acara Launching Indeks Kerawanan Pemilu Serentak 2024 di Jakarta, Jumat (16-12-2022), Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty memaparkan indeks kerawanan Pemilu ditingkat provinsi tergolong dalam empat dimensi, yakni dimensi sosial dan politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi, serta dimensi partisipasi. Dimensi sosial dan politik menjadi masalah krusial dalam indeks kerawanan pemilu akibat meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat.
Peraturan Badan Pengawas Pemilhan Umum Nomor 5 tahun 2022 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjelaskan kewenangan pengawas pemilu ditingkatan ad hoc yang mengadopsi prinsip pelibatan masyarakat dan pemanfaatan media sosial dalam pengawasan pemilu.
Ada tiga alasan pentingnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan pemilu, secara subjektif terbatasnya kapasitas dan kemampuan lembaga pengawas pemilu yang dalam hal ini adalah bawaslu, kedua secara objektif karena kompleksitas pemilu, kasus pelanggaran yang semakin beragam, dan wilayah Indonesia yang sangat luas, ketiga secara kualitatif untuk mempertahankan substansi pemilu itu sendiri.
Partisipasi masyarakat tidak untuk sekadar datang dan memilih, tetapi diperlukan peran aktif masyarakat dalam mencegah potensi terjadinya kecurangan, melaporkan kecurangan tersebut kepada bawaslu sebagai lembaga yang bertugas mengawasi proses pemilu dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemilu.
Setiap warga negara memiliki tanggung jawab moral dalam mencegah narasi perpecahan yang datang dari media informasi atau media sosial. Maksimalnya partisipasi masyarakat dalam menjaga stabilitas pemilu menjadi transformasi gerakan sosial untuk menentukan arah masa depan Indonesia.
Kesadaran dan komitmen bersama dalam menciptakan ruang publik yang sehat mesti dilmulai dari stakeholder lewat MOU bersama platform media sosial untuk memberikan sanksi tegas terhadap akun yang berpotensi memunculkan narasi perpecahan. Dalam penyelnggaraan pengawasan pemilu, masyarakat berharap bawaslu dapat merumus kebijakan pengawasan kampanye digital yang ketat dan terintegrasi sebagai bentuk optimalisasi sarana pengawasan lebih efektif dan efisien.
*) Penulis adalah Ketua Pengawas Pemilu Kecamatan Sangia Wambulu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara.