OPINI: Pilpres dan Polarisasi Masyarakat

Awaluddin Usa

Oleh: Awaluddin Usa

Tahapan Pemilu 2024 setahun lagi akan mencapai puncaknya, tepatnya tanggal 14 Februari 2024. Berdasarkan tahapan jadwal yang diterbitkan KPU yakni PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal penyelenggaraan Pemilu 2024, setidaknya dua tahapan penting telah terselenggara yakni penetapan partai politik peserta pemilu terdiri dari 18 parpol Nasional dan 6 parpol lokal Aceh dan penataan dapil serta alokasi kursi untuk Provinsi dan labupaten kota.

​Untuk tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sesuai dengan jadwal tahapan akan dilaksanakan pada Oktober 2023. Masih tersisa delapan bulan lagi. Namun sejumlah nama telah disebut- sebut bakal maju dalam ajang lima tahunan tersebut, pertemuan antara bakal calon presiden dan partai politik semakin intens dilakukan. Di media, bahkan telah ramai dan cenderung memanas bila menyangkut pembahasan tentang calon presiden dan wakil presiden.

​Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, salah satu fenomena yang perlu mendapatkan perhatian serius dan perlu dicegah kecenderungan terjadinya polarisasi yang memecah masyarakat.

Polarisasi merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti (1) hal atau benda yang memperhatikan dua sifat berbeda dan (2) hal pertentangan langsung. Bila di bawa ke ranah politik, polarisasi adalah keterbelahan masyarakat dalam menyikapi isu-isu politik, yang berdampak pada kebencian dan kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari lawan politik.

​Polarisasi atau terbelahnya masyarakat terbentuk dan akan terus berulang disebabkan beberapa faktor. Pertama, jika perdebatan di seputar pemilihan presiden masih seputar kandidat, bukan soal program kerja. Narasi yang dibangun oleh partai politik dan paslon yang maju pada pemilu masih berbasis politik identitas, yakni etnis dan agama.

Kedua polarisasi juga dapat terbentuk penyebaran informasi melalui media sosial yang di dalam berita tersebut berisi berita hoax, hate speech, provokasi dan black campaign.

Di Pemilihan Presiden 2019 yang mempertemukan pasangan Joko Widodo dan Maruf Amin dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, memperlihatkan polarisasi yang sangat jelas. Para pemilih tidak ragu menunjukan posisi mereka di ruang publik dan media sosial. Bahkan pemilih masih terbelah, jauh setelah Pilpres selesai.

​Dampaknya masih ada, masyarakat kita pasca Pemilu 2019 masih terbelah. Dampak yang nyata saat ini, Presiden yang terpilih masih mendapatkan perundungan, meski Pilpres telah berakhir karena menganggap bahwa Presiden yang terpilih bukan Presiden semua warga. Apa pun yang berkaitan dengan pasangan calon Jokowi-Ma’ruf Amin diisukan negatif.

Berikutnya, ketidakpercayaan publik kepada negara dan lembaga hukum, karena dianggap sebagai instrumen negara. Dampak yang paling buruk adalah meningkatnya kekerasan di tengah masyarakat, karena ketidak percayaan kepada lembaga-lembaga publik. Kasus main hakim sendiri adalah salah satu contoh ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga publik.

​Polarisasi dalam momentum Pemilu sudah harus dihindari, apalagi saat ini tahapan Pemilu 2024 sementara berjalan. Isu- isu yang membelah masyarakat sudah bertebaran di media sosial, sebelum semakin merusak dan menumbuhkan intoleransi baiknya harus segara diantisipasi.

Untuk mengantisipasinya, menurut penulis harus melibatkan semua pihak baik itu penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu), kontestan (parpol, pasangan calon, tim kampanye) dan pemerintah.
​Pertama, dari sisi Penyelenggara Pemilu. Penyelenggara tidak hanya bertanggung jawab soal pelaksanaan teknis dan pengawasan Pemilu dan seberapa tinggi partisipasi pemilih yang menyalurkan hak pilihnya di TPS. Lebih dari itu, penyelenggara ikut bertanggung jawab menjaga kehidupan toleransi bangsa ini, melakukan pendekatan kepada kelompok masyarakat dan tokoh – tokoh agama yang memiliki pengaruh pada proses Pemilu.

Penyelenggara di semua tingkatan wajib menyiapkan wadah komunikasi dan koordinasi secara intensif dengan kelompok lintas agama dan stake holder. Sehingga dalam kegiatan-kegiatan sosialisasi kepemiluan, penyelenggara dapat mengikutkan tokoh agama berpengaruh untuk memberikan edukasi kepada pemilih.

​Polarisasi juga terjadi, karena kurangnya literasi pemilih kita. Karena itu, salah satu cara yang dapat ditempuh bagi penyelenggara adalah menerbitkan buku-buku pemilu untuk mengedukasi pemilih kita. Perilaku pemilih harus dirubah menjadi rasional, sehingga pemilih menjatuhkan pilihannya berdasarkan visi dan program kerja kandidat kedepan, bukan berdasarkan basis pikiran irasional yakni kesukuan dan agama. Hal ini untuk mencegah tumbuhnya politik identitas yang selalu terbawa ketika moment Pemilu.
​Kedua, dari sisi kontestan (Parpol, Pasangan calon dan tim kampanye).

Yang harus dibangun adalah kesepakatan bersama para kontestan dalam melaksanakan kampanye, konteks pikiran yang dibangun adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperkuat persatuan nasional. Dalam pelaksanaan kampanye mengutamakan adu gagasan dan program. Tidak ada lagi elit politik yang menggunakan narasi politik identitas dan isu isu sara yang dapat menimbulkan intoleransi dimasyarakat. Para elit politik mampu mencerminkan sifat kenegarawanan dalam berpolitik, memberikan contoh, menjaga komunikasi dengan semua pihak dan menghargai perbedaan serta menghindari penyebaran politik kebencian.

Para elit politik harusnya berperan dan memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat, menjaga harmonisasi antar umat beragama dan kelompok etnis, memberikan contoh untuk menampilkan kompetisi politik yang sehat. Masyarakat jangan lagi dipertotonkan untuk mengejar electoral, menggunakan cara cara yang tidak sehat seperti heat speech, politik identitas dan hal – hal negatif.

Ketiga Pemerintah. Pemerintah perlu membuat regulasi yang tegas dan penegakan hukum terhadap kontestan atau pihak-pihak yang dengan sengaja melakukan kampanye dengan menggiring isu politik identitas, hate speech, provokasi dan hoax. Harus ada penegakan hukum yang adil tanpa diskriminatif terhadap elit politik, tim sukses, relawan. Bahkan terhadap calon Presiden, apabila terbukti menggunakan politik identitas sebagai komoditas atau “jualan”. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan efek jera kepada mereka yang menjadi kontestan.

Pemerintah harus menaruh perhatian pemanfaatan ruang digital untuk kampanye. Ruang digital memberikan kontribusi signifikan terjadinya polarisasi di masyarakat, melalui informasi-informasi hoax dan provokasi.

Berdasarkan laporan We Are Social, jumlah penggguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 Juta orang pada tahun 2022. (https://dataindonesia.id/digital/detail/pengguna-media-sosial-di-indonesia-capai-191-juta-pada-2022).

Terkait dengan pemanfaatan media sosial dalam konteks Pemilu, diperlukan regulasi yang jelas dan tegas dalam penyampaian informasi di media sosial. Apalagi terkait dengan maraknya berita-berita hoax sepanjang pelaksanaan Pemilu 2024. Regulasi ini dimaksudkan untuk menindak tegas para pembuat atau penyebar hoax sehingga ke depan Pemilu tidak terganggu oleh informasi hoax yang menjadi sarana menyebar kebencian.

Pemilu 2019 menjadi pembelajaran, persaingan politik Pemilu yang memanfaatkan hoax, berita bohong, politik identitas dan propaganda tidak boleh terjadi lagi di Pemilu 2024.


*) Penulis adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara.

 

error: Content is protected !!