Oleh: La Ode Abdul Muzzafar SH
Politik adalah perang. Intrik dan tipu daya menjadi hal yang biasa, darah dan
nyawa digunakan untuk mencapai tujuan, menang dan berkuasa. Seperti itulah manusia membentuk peradabannya.
Dalam sistem raja-raja, kekuasaan dikelola dengan melihat trah
dan garis keturunan darah. Anak Sang Raja adalah pewaris tahta. Tak jarang kita melihat darah itu tumpah di lantai atau mungkin di atas meja di malam perjamuan istana. Mereka
saling membunuh, meniadakan satu dan lainnya. Itu nampak jelas tertulis dalam buku sejarah kita. Di masa itu, kekuasaan adalah segalanya. Raja menjadi wakil tuhan bagi kaumnya. Kebenaran ditentukan oleh akal pikiran dan titah sang Raja. Di sisi yang lain, perang menjadi solusi temporer dalam mencapai kekuasaan dan dominasi manusia. Secara filosofis, perang
merupakan turunan sifat dasar manusia yang ada sampai hari ini. Perang adalah jalan untuk memelihara dominasi dan persaingan sebagai sarana memperkuat eksistensi diri dengan cara menundukkan kehendak pihak yang dimusuhi.
Era itu telah usai. Manusia menemukan jalan damai untuk untuk mengatur
kekuasaan dan sirkulasinya. Demokrasi hadir bak cahaya di dalam gulita, mendegradasi sistem tua yang dingin tanpa suara. Ya! Demokrasi adalah soal suara. “Vox Populi, Vox Dei” begitulah filsuf Yunani menyebutnya, suara rakyat adalah suara tuhan. Seakan-akan tuhan
hadir dan ikut bermain dalam peta dan konflik kekuasan manusia. Dalam demokrasi, pemilu diibaratkan pesta. Ini momentum bagi kita bersuka cita, bahagia, menari dalam gerak tanpa
irama. Mungkin terminologi itu dipilih untuk menutupi kelamnya sejarah peradaban tua, dimana banyak darah dan nyawa yang hilang disana. Apakah demokrasi tidak menghendaki pertumpahan darah? Apakah benar perang telah tiada? ataukah kita hanya sedang berganti wajah, kostum dan latar untuk peran yang sama?
Membunuh Kecemasan, Melahirkan Harapan
Kita memang cemas. Cemas akan nasib kita dalam arus peradaban, yang setiap kali mengalami benturan-benturan sensasional namun minim akan substansial. Moment pemilu adalah puncak dari kecemasan kita. Sebagai pribadi, kelompok bahkan sebagai sebuah bangsa yang kaya dengan kemajemukannya. Kita lahir dari keberagaman, kata mereka itulah
keunikan kita. Kita memang terlatih dalam mengelola perbedaan, walaupun kadang tertatih diujung jalan. Mereka yang menang dalam setiap moment politik adalah mereka yang memiliki segalanya. Kecerdasan, bukan satu-satunya ukuran untuk menguasai pertarungan. Cerdas, cerdik, licik dan picik adalah jalannya.
Lebih dari sekedar intelektualitas, pemilu adalah wahana permainan yang kaya akan sensasionalnya. Lantas dimana substansinya? Harapan adalah substansi kita bersama. Harapan adalah energi gerak yang membangunkan kita di pagi hari untuk berjalan menuju bilik suara.
Memilih siapa saja yang kita suka, siapa saja yang ada didalam mimpi dan memori kita, siapa saja yang kita percaya untuk mewakili kita dan mengurus hajat hidup bersama selama 5 tahun
kedepan. Kita telah membunuh kecemasan dan melahirkan harapan-harapan kita.
Ini Jalan Kita
Kita telah percaya bahwa demokrasi dan pemilu adalah jalan terbaik bagi kita
mencapai puncak kekuasaan. Kita pun percaya bahwa mereka yang berkuasa adalah representasi dari pandangan-pandangan luhur kita tentang kebaikan, kesetaraan, persaudaraan, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Kita dengan sadar dan
tanpa paksaan menumpahkan harapan dan keluh-kesah kita pada mereka yang duduk di parlemen. Sebuah institusi suci dan mulia, yang diisi oleh mereka yang sibuk berdebat tentang kepentingan kita rakyat jelata.
“Parle” sebuah istilah Perancis yang menuju pada tempat terhormat dimana didalamnya berisi para wakil rakyat yang dipilih untuk membicarakan nasib rakyatnya. Inilah jalan kita. Jalan kebaikan tanpa saling bermusuhan, jalan untuk mencapai kesetaraan tanpa saling merendahkan, jalan persaudaraan tanpa perang, jalan keadilan tanpa saling menjatuhkan, jalan kesejahteraan tanpa saling menghinakan, jalan kemakmuran untuk kita bersama.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Komunitas Lingkar Intelektual Abdul Muzzafar.