Oleh: La Ode Pandi Sartiman
Desa Latugho sejatinya bisa menjadi desa wisata di Muna Barat.Sebab, desa ini memiliki ragam potensi wisata. Mulai dari wisata pemandian, pemancingan, camping, hiking, budaya dan sejarah.
Saya menyebutnya Wisata Wakopu (Wakante, Koke dan Puncak Atompui).
Semua potensi wisata ini bisa dipadukan atau dikolaborasikan dalam satu area wisata yang keren.
Pemandian Wakante
Wakante dulunya hanya sebatas kali biasa nan dangkal. Punya mata air yang saban hari mengalir jernih sekalipun musim kemarau.
Seiring waktu, kali ini dibenahi menjadi tempat pemandian. Kalinya diperdalam dan sedikit dibendung. Kedalaman kali kurang lebih dua meteran.
Di sekitar pemandian, terdapat tambak ikan air tawar. Dulu Nena Namanya. Sekarang, banyak warga yang bermukim di situ dan bikin tambak ikan mujair, mas dan nila. Sangat cocok jadi tempat wisata pemancingan bagi mereka yang enggan berenang.
Pemandian Koke
Berjarak kurang lebih dua kilometer ke arah Barat, terdapat pemandian dangkal dikelilingi hutan rimbun. Namanya, Koke.
Sumber airnya berasal dari aliran kali Wakante. Jernih dan dingin. Tempat ini sangat cocok dijadikan tempat camping ground. Bagi mereka yang lama bergulat dengan kehidupan kota, sangat cocok dengan suasana di sini. Berbaring di hammock, sambil menghirup udara segar dan mendengar aliran kali yang berdesir deras.
Anda juga bisa makan bersama dengan keluarga sambil menikmati aliran air menghantam kaki.
Puncak Atompui
Sekitar 2 kilometer ke arah utara, ada puncak Atompui. Berada di Desa Watumelaa, daerah pemekaran Desa Latugho. Selain tanjakan yang terjal, puncak ini menyimpan cerita sejarah bagi komunal orang Muna.
Di massa penjajahan dulu, puncak Atompui menjadi lokasi pertahanan dari serangan musuh. Sehingga tidak salah jika di puncak ini ditemukan beberapa peninggalan zaman dulu. Di gua puncak ini juga terdapat lukisan yang tentunya punya nilai sejarah.
Tempat ini sangat cocok untuk lokasi pendakian bagi pecinta wisata alam bebas.Dari puncak Atompui, dari kejauhan, bisa melihat Selat Tiworo dan sayup-sayup Gunung Sabampolulu di Pulau Kabaena.
Kuda Jadi Alat Transportasi
Muna Barat, khususnya Desa Latugho terkenal dengan kudanya. Banyak warga memelihara kuda di sini. Dulu, kuda digunakan sebagai alat transportasi bagi mereka yang mapan dan memiliki pertalian darah dengan keturunan kerajaan.
Kini, kuda tersebut dimanfaatkan ketika ada acara besar dan menyambut tamu luar. Biasanya dengan atraksi perkelahian kuda. Namun, atraksi perkelahian kuda ini banyak memicu kritikan dari para pecinta hewan.
Keberadaan kuda ini bisa menjadi sarana transportasi baru dalam menunjang pariwisata di tiga lokasi itu. Berhubung lokasinya tidak terlalu jauh.
Kita ambil contoh di Bromo. Untuk menikmati wisata alam, pengunjung menyewa kuda tersebut. Dampaknya jelas, perputaran ekonomi bagi anak-anak yang memelihara kuda.
Selama ini, warga menyiapkan kuda untuk ditunggangi pengunjung mengelilingi pemandian Wakante. Jika hanya satu lokasi wisata, sepertinya agak garing. Kenapa tidak,kudanya bisa dimanfaatkan sebagai alat transportasi di Koke, lalu ke Puncak Atompui?
Penataan Wisata
Ketiga potensi wisata itu, termasuk penunjangnya bisa hidup bila pariwisatanya ditata dengan baik. Mulai menciptakan brand hingga promosi media sosial.
Kemudian, penataan wisata harus menghindari namanya betonisasi. Banyak tempat wisata ditinggalkan pengunjung karena terlalu mengabaikan alamiah dan memilih membangun beton.
Biarkan ketiga wisata itu natural dan cukup dipercantik dan ditata tanpa menghilangkan esensi alamiahnya.
Potensi wisata kita akan terus berkembang seiring kemajuan teknologi di tengah bonus demografi dan generasi Z.
Terakhir, pesan saya, mari jaga alam kita. Ini titipan leluhur untuk anak cucuk kita ke depan. Bersyukur lah kita masih menikmati sungai yang jernih, suhu yang dingin di tengah rimbun pohon dan tanaman yang subur.
*) Penulis adalah guru SMPN Satap 1 Sawerigadi. Penulis juga mantan jurnalis nasional CNN Indonesia dan Britagar dan juga mantan Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari.