Pakar Hukum: Asas Dominus Litis di RKUHAP Berpotensi Timbulkan Tumpang Tindih Kewenangan

Dr. Sawoung Pradipta Suryodewo. Foto: Dok. Istimewa.

Jakarta – Pakar hukum Dr. Sawoung Pradipta Suryodewo mengingatkan bahwa penerapan asas dominus litis dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus dikaji secara mendalam agar tidak disalahartikan dan berujung pada penyalahgunaan kewenangan.

Menurut Managing Partner Amori Sawoung Kusuma Attorney At Law ini, tanpa penjelasan yang rinci dalam KUHAP dan Undang-Undang Kejaksaan, kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian dapat tumpang tindih seperti dua nakhoda yang bersikeras mengendalikan satu kapal, yang pada akhirnya bisa membawa hukum berlayar menuju perairan yang keruh.

“Asas dominus litis yang terdapat dalam RKUHAP perlu mendapatkan tempat dan penjelasan pemahaman secara terperinci dalam KUHAP dan UU Kejaksaan karena banyak jaksa dalam kewenangannya menangani perkara sejak penyidikan,” tegas Dr. Sawoung, Kamis (13/2).

Alumni Doktoral Ilmu Hukum Universitas Trisakti ini menyoroti bahwa KUHAP saat ini belum mengatur secara rinci mengenai proses penyelidikan, penyidikan, dan pra-penuntutan. Akibatnya, masing-masing lembaga penegak hukum memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan mengatur sendiri kewenangannya, seperti pemain orkestra tanpa partitur yang jelas.

Akibatnya, kewenangan yang seharusnya bersifat tegas dan terbatas justru berpotensi disalahgunakan, membuat penegakan hukum kehilangan keseimbangan layaknya timbangan yang miring ke satu sisi.

“Di sini bisa kita lihat ada kemungkinan tumpang tindih kewenangan. Sebagaimana yang dipahami saat ini, kewenangan jaksa dalam sistem hukum Indonesia seharusnya terbatas pada penuntutan pidana, sementara kepolisian memiliki peran dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dr. Sawoung memperingatkan bahwa jika jaksa diberi kewenangan untuk menghentikan suatu perkara yang sudah dilimpahkan oleh kepolisian, maka potensi konflik kepentingan akan muncul bak bara dalam sekam, mengancam integritas sistem hukum di Indonesia.

Dengan rencana revisi KUHAP disahkan, kewenangan jaksa dalam menghentikan perkara dapat menciptakan standar ganda dalam penegakan hukum, yang bisa membingungkan masyarakat dalam mencari kepastian hukum—ibarat kompas yang menunjuk ke dua arah berbeda.

“Pembaruan dalam RUU KUHAP akan lebih baik jika mengutamakan kepastian hukum dengan mengedepankan penanganan perkara yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Jangan sampai justru menciptakan multitafsir baru yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan,” tegasnya.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!