Kendari – Di balik pagar besi dan kehidupan yang dibatasi ruang gerak, Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Kendari sedang menggerakkan sebuah transformasi yang tak banyak diketahui publik. Dari luar, ini tampak seperti program pertanian biasa. Namun di balik tanah yang digarap oleh para narapidana ini, tersimpan cerita tentang strategi pembinaan, pemulihan mental, hingga kontribusi terhadap ketahanan pangan nasional.
Program ini berangkat dari lahan seluas satu hektare yang selama bertahun-tahun hanya ditanami jagung. Kini, luasnya telah meningkat menjadi dua hektare, dengan jenis tanaman yang lebih beragam. Kepala Lapas Kelas IIA Kendari, Herman Mulawarman, menegaskan bahwa perluasan ini bukan hanya untuk meningkatkan produksi, tetapi juga menciptakan ruang pembelajaran dan kemandirian bagi warga binaan.
“Sebelum saya bertugas di sini, lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian hanya sekitar satu hektare. Setelah saya masuk pada September 2024, kami melakukan perluasan dengan meminjam kembali lahan sekitar satu hektare yang berada di sebelah kanan atau kiri lapas,” ujar Herman kepada Sultranesia.com pada Senin (21/4).
Lahan tersebut sebelumnya tidak dimanfaatkan secara maksimal. Rumput liar tumbuh lebat dan saluran air yang tidak teratur menjadikannya seperti wilayah mati. Herman melihat celah yang bisa dikembangkan. Tidak hanya dari segi pemanfaatan lahan, tetapi juga diversifikasi komoditas yang selama ini belum tergarap dengan optimal.
“Lahan itu memang sudah ada dan sudah diolah, tapi belum maksimal dari segi komoditas. Karena itu kami tambahkan jenis tanaman supaya tidak hanya jagung terus, tapi juga ada cabai, tomat, terong, paria, sawi, kangkung, bayam, bawang, dan buah nanas,” jelasnya.
Pengelolaan kebun ini tidak diserahkan sembarangan. Hanya warga binaan yang telah memenuhi syarat administratif dan substantif yang diberi tanggung jawab untuk mengelola lahan tersebut. Total ada 13 orang yang terlibat, dengan pembagian kerja yang cukup terorganisir.
“Untuk kebun yang satu, ada tujuh orang, dan di kebun sebelahnya enam orang. Jadi totalnya tiga belas orang. Yang lainnya ada yang bertugas di pembuatan batako, peternakan, dan perikanan. Tapi khusus pertanian, ada tiga belas warga binaan,” kata Herman.
Dari sisi ekonomi, program ini juga menjadi sumber pendapatan tambahan bagi warga binaan. Hasil panen tidak sepenuhnya diserahkan ke negara. Ada skema pembagian yang menurut Herman adil dan transparan.
“Kalau dari hasil yang didapat, itu pembagiannya juga untuk warga binaan, 50 persen dari hasil kebun itu untuk mereka. Sisanya untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pembelian bibit, dan operasional petugas pengawas,” tuturnya.
Namun di balik keberhasilan tersebut, ada tantangan yang belum sepenuhnya teratasi. Masalah utama berasal dari aliran air hujan yang masuk ke area pertanian akibat proyek jalan yang tidak menyertakan sistem drainase memadai. Alih-alih diarahkan ke got, air justru dibiarkan mengalir langsung ke lahan kebun.
“Sebelumnya, lahan itu seperti tanah tak bertuan, penuh rumput liar dan pohon besar. Karena belum diolah, air hujan dari saluran got jalan malah diarahkan ke sana oleh pihak proyek. Setelah kami bersihkan dan jadikan kebun, air tetap masuk. Ini jadi tantangan,” ungkapnya.
Untuk mengatasi persoalan itu, pihak Lapas berencana membangun talut atau penghalang air. Namun keterbatasan anggaran membuat solusi tersebut belum bisa segera diwujudkan.
Meski demikian, program ini tetap berjalan dengan dukungan berbagai pihak. Dinas Pertanian Kota Kendari secara rutin mengirimkan penyuluh ke lokasi. Bahkan akademisi dari perguruan tinggi ikut terlibat dalam proses pelatihan dan pengawasan, yang menurut Herman turut berperan besar dalam meningkatkan kualitas program.
“Kalau kita lihat dari tahun ke tahun, keberhasilan program ini semakin meningkat. Hasil kerja para warga binaan juga jelas dan berkelanjutan. Bahkan Dinas Pertanian pun menilai bahwa tahun ini jauh lebih berhasil dibanding sebelumnya,” ujarnya.
Apa yang sedang dibangun Lapas Kendari sejalan dengan Asta Cita Presiden dan 13 Program Akselerasi Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, program ini menjelma sebagai prototipe pembinaan berbasis produktivitas. Namun Herman menegaskan bahwa program ini lahir bukan karena dorongan kebijakan pusat semata, melainkan karena kebutuhan konkret di lapangan.
“Kalau program ini sebenarnya sudah kami jalankan bahkan sebelum pemerintah mencanangkan Asta Cita Presiden terkait ketahanan pangan. Karena ini memang bagian dari pembinaan, supaya setelah bebas nanti warga binaan punya keahlian dan keterampilan mengolah kebun secara baik dan modern,” tutup Herman.
Di atas tanah yang dulu diabaikan, kini tumbuh berbagai komoditas pertanian dan harapan baru. Di balik jeruji, warga binaan tidak sekadar menjalani hukuman, tetapi juga menyiapkan diri untuk kehidupan yang lebih baik.
Editor: Denyi Risman