Daerah  

Puspaham: Keputusan Hentikan PT MS di Konawe Selatan Harus Dikawal, Ini Alasannya!

Direktur Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham), Kisran Makati. Foto: Dok. Istimewa.

Konawe Selatan – Keputusan Bupati Konawe Selatan, Irham Kalenggo, yang menghentikan sementara aktivitas PT Marketindo Selaras (PT MS) mendapat apresiasi dari lembaga masyarakat sipil.

Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) menilai langkah ini sebagai momentum penting yang harus dikawal agar tidak sekadar menjadi simbol politik sesaat.

Dalam keterangan resminya, Direktur Puspaham, Kisran Makati, menyebut penghentian sementara itu sebagai titik awal menuju penyelesaian konflik agraria yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade di wilayah tersebut.

“Keputusan ini bukan hanya bentuk keprihatinan atas jatuhnya korban dalam eskalasi konflik di lapangan, tetapi juga sinyal keberpihakan awal pada warga yang selama ini mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka dari ekspansi korporasi,” ujar Kisran dalam rilis resminya, Sabtu (14/6).

Menurut Kisran, ada tiga hal yang patut diapresiasi dari keputusan Bupati Konsel.

Pertama, respons cepat terhadap ketegangan dan kekerasan di lapangan yang menunjukkan kepemimpinan hadir dalam konflik.

Kedua, pendekatan damai yang ditempuh tanpa tindakan represif, dinilai sebagai langkah manusiawi.

Ketiga, instruksi koordinasi multipihak dianggap membuka ruang dialog yang lebih inklusif, melibatkan pemerintah desa, kecamatan, aparat, hingga perusahaan.

Namun, Kisran juga mengingatkan bahwa penghentian ini masih bersifat sementara dan berpotensi dibuka kembali tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.

“Penghentian ini masih bersifat sementara dan berisiko dibuka kembali tanpa menyentuh akar konflik yang sesungguhnya. Salah satu yang paling krusial adalah dugaan bahwa PT Marketindo Selaras belum mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) maupun Hak Guna Usaha (HGU) yang sah,” jelasnya.

Ia juga menyoroti sejarah lahan yang dikuasai PT MS.

Menurutnya, perusahaan ini mengelola lahan eks PT Sumber Madu Bukari (SMB) yang wanprestasi sejak 2003, dan berpindah tangan ke PT BMP, lalu akhirnya ke PT MS.

Dalam proses itu, komoditas berubah sepihak dari tebu ke sawit tanpa prosedur hukum yang sah.

Lebih lanjut, Kisran menekankan bahwa ada sejumlah langkah krusial yang perlu dikawal secara bersama-sama.

Di antaranya adalah pentingnya audit menyeluruh terhadap legalitas izin dan status perusahaan, termasuk penelusuran atas alur penguasaan lahan dari PT SMB hingga ke PT MS.

Selain itu, pemulihan hak-hak warga terdampak serta korban kekerasan, baik secara fisik maupun struktural, menjadi hal mendesak.

Proses verifikasi juga harus dilakukan secara transparan dan inklusif dengan melibatkan warga, pemerintah desa, serta organisasi masyarakat sipil.

Jika ditemukan pelanggaran, maka penegakan hukum harus berjalan tanpa kompromi terhadap perusahaan yang beroperasi tanpa izin sah.

Terakhir, reformasi tata kelola agraria di Konawe Selatan perlu dilakukan secara menyeluruh, termasuk evaluasi terhadap semua izin perkebunan yang pernah diterbitkan.

“Kasus PT MS bukan semata soal sengketa lahan,” tegas Kisran.

“Tetapi ujian nyata atas keberpihakan kita: apakah pada masyarakat yang menjaga tanah dan hidupnya, atau pada korporasi yang beroperasi dengan melanggar hukum,” tambahnya.

Puspaham juga menyoroti potensi konflik horizontal yang timbul karena dugaan penggunaan warga sebagai “tameng sosial” oleh perusahaan, serta lambannya penindakan terhadap aktor struktural yang diduga terlibat dalam perizinan bermasalah.

“Secara kelembagaan, Puspaham menyatakan siap berkontribusi aktif dalam proses penyelesaian yang adil, transparan, dan bermartabat demi keadilan agraria yang sesungguhnya di Konawe Selatan,” pungkas Kisran.


Editor: Redaksi

error: Content is protected !!