Berita  

Rapat Ganti Rugi Lahan Bumi Praja Laworoku Mubar Hasilkan 4 Poin Penting

Rapat polemik ganti rugi lahan Bumi Praja Laworoku Muna Barat. Foto: Denyi Risman/Sultranesia.

Muna Barat – Rapat terkait polemik ganti rugi lahan di Bumi Praja Laworoku bersama Pemda Muna Barat (Mubar), Forkopimda dan masyarakat pada Selasa (7/11) menghasilkan 4 poin penting.

Kesepakatan tersebut di antaranya, pertama pemda menyatakan status kepemilikan lahan Bumi Praja Laworoku adalah milik pemda, berdasarkan penyerahan dari Pemda Muna sesuai penurunan status APL.

Sehingga, pemanfaatan tanah dikenakan ketentuan mengenai penanganan dampak sosial dengan mengacu pada Perpres 62 Tahun 2018 dengan aturan teknis adalah Peraturan Menteri ATR/BPN No 6 Tahun 2020.

Kedua, untuk menguji status kepemilikan pemda pihak masyarakat yang tetap mengklaim kepemilikan tanah, dipersilahkan untuk menggugat atau menempuh jalur hukum.

Ketiga, masyarakat untuk menyampaikan aspirasi melalui mekanisme penyampaian pendapat di muka umum, diharapkan secara tertib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta tidak menutup jalan yang merupakan fasilitas pelayanan umum, tidak menyuruh atau menghambat pekerjaan pembangunan proyek prioritas daerah dalam kawasan Bumi Praja Laworoku.

Terakhir, dalam hal melaksanakan kegiatan yang dapat mengganggu proyek prioritas, maka pihak penegak hukum akan memproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Diketahui sebelumnya, pekerjaan perkantoran Bumi Praja Laworoku saat ini mandek selama beberapa hari, pasalnya warga memblokade jalur menuju pembangunan mega proyek tersebut dan menyuruh para pekerja untuk menghentikan proses pembangunan.

Berita acara hasil rapat. Foto: Denyi Risman/Sultranesia.

Pemblokiran jalan itu buntut dari tuntutan masyarakat yang tidak menerima bahwa pemda hanya mengganti rugi tanaman yang tumbuh di lahan tersebut, sebab warga menuntut ganti rugi lahan.

Hal itu diungkapkan oleh kuasa hukum masyarakat, Firman Prahara, jika berdasarkan tuntutan masyarakat pada komitmen Penjabat (Pj) Bupati Muna Barat terkait ganti rugi lahan sebesar Rp 8,1 miliar yang berdasarkan asumsi penganggaran yakni Rp 5.000 per meter untuk jalur belakang, dan Rp 10.000 per meter untuk jalur depan.

Begitu pun dengan salah satu masyarakat Marobea, Safar Pou yang mempertanyakan dasar hukum pemda mengklaim lahan tersebut menjadi hutan lindung, padahal sebelumnya lahan tersebut telah digunakan oleh orang tuanya sejak zaman dulu untuk berkebun.

“Bahkan telah ada lahan yang mempunyai sertifikat kalau berdasarkan histori, di sini kami meminta solusi,” ujar Safar dalam rapat.

Menanggapi hal itu, Pj Mubar, Bahri menjelaskan, lahan yang saat ini dibangunkan perkantoran merupakan lahan pemda yang sebelumnya kawasan hutan lindung, kemudian terjadi penurunan status hutan menjadi APL, dan sebagai persyaratan mekarnya Muna Barat, Pemda Muna memberikan lahan tersebut sebagai aset.

Sehingga, sebagai hak pemda, dirinya menyebut tak boleh mengganti rugi lahan itu, pasalnya pemda telah berkoordinasi ke pihak provinsi, sehingga perkara ganti rugi lahan mengacu pada Perpres Nomor 62 Tahun 2018 mengenai dampak sosial, sehingga untuk membuktikan kepemilikan lahan tersebut melalui pengadilan.

Hal itu juga ditegaskan, Kapolres Muna, AKBP Mulkaifin, dirinya bahkan dengan tegas meminta untuk membuka portal agar pekerjaan tetap berlanjut.

Ia juga menegaskan jika masih ada pemblokiran dilakukan yang berdampak pada berhentinya proses pembangunan perkantoran, maka pihaknya akan segera proses hukum.

“Karena ini berbicara tentang negara, yaitu pembangunan perkantoran merupakan aset, kita harus berdasarkan aturan hukum,” tegasnya.

Ia juga menyarankan kepada pihak-pihak yang tidak menerima dapat mencari penyelesaian melalui pengadilan atau jalur hukum lainnya.

Segendang sepenarian, Kasi Datun Kejari Muna, Puput Wijaya Putra mengaku, pihaknya juga telah meninjau lokasi Bumi Praja Laworoku, dalam peninjauan dilakukan usai penandatanganan MoU terkait pendampingan pelaksanaan kegiatan strategis.

Ia juga berpesan agar masyarakat tidak menghalangi proses pekerjaan yang dilaksanakan oleh PPK dan kontraktor yang saat ini telah berjalan.

“Kegiatan ini resmi setelah melalui tahapan lelang, mereka yang bekerja didalam dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak, karena itu jangan ganggu mereka” tegasnya.


Laporan: Denyi Risman

error: Content is protected !!