Kendari – Rumah Sakit (RS) Palang Merah Indonesia (PMI) Sulawesi Tenggara (Sultra) buka suara terkait isu pemotongan gaji dan pemutusan kontrak kerja seorang karyawannya.
Kepala Bagian Kepegawaian RS PMI Sultra, Fikri, memberikan klarifikasi lengkap kepada jurnalis Sultranesia.com pada Kamis (15/8).
Menurut Fikri, isu tersebut tidak sepenuhnya akurat dan telah menimbulkan kesalahpahaman di publik.
Fikri menjelaskan bahwa di RS PMI Sultra, terdapat dua jenis pegawai, pegawai tetap dan pegawai kontrak. Pegawai kontrak, yang bisa disebut juga sebagai pegawai magang atau honorer, merupakan bagian dari kebijakan manajemen.
“Kami selalu mengadakan evaluasi terhadap pegawai kontrak sebelum memutuskan pengangkatan menjadi pegawai tetap. Evaluasi ini melibatkan penilaian terhadap kinerja mereka dan apakah mereka dapat bekerja sama dengan baik tanpa merugikan rumah sakit,” ujar Fikri.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat sekitar 10 pegawai kontrak di RS PMI Sultra, dan beberapa dari mereka telah diangkat menjadi pegawai tetap karena menunjukkan kinerja yang memuaskan.
Terkait dengan pemberitaan di media yang menyebutkan adanya pemotongan gaji hingga 50 persen, Fikri menyatakan keberatan.
Menurutnya, sistem penggajian di RS PMI Sultra telah disesuaikan dengan aturan keuangan rumah sakit yang berlaku, di mana perhitungan gaji dilakukan berdasarkan pendidikan terakhir dan mengacu pada golongan PNS.
“Sistem penggajian di sini berbeda dengan pemotongan gaji. Jika kami menetapkan gaji sebesar 50 persen dari keuangan rumah sakit, lalu memotongnya lagi sebesar 50 persen, itu baru disebut pemotongan. Tapi yang terjadi di sini bukan pemotongan, melainkan memang kebijakan gaji seperti itu,” jelas Fikri.
Ia juga menegaskan bahwa informasi terkait penggajian telah disampaikan kepada seluruh karyawan, termasuk saat orientasi awal.
“Semua karyawan, mulai dari cleaning service hingga keamanan, telah diberikan penjelasan terkait sistem penggajian ini. Mereka diberi kesempatan untuk bertanya jika ada yang belum dipahami,” tambahnya.
Menanggapi pernyataan Aris, seorang karyawan honorer yang mengaku hanya menerima upah sebesar Rp1.000.000 per bulan, Fikri menjelaskan bahwa pembayaran tersebut bersifat sementara hingga RS PMI Sultra menjalin kerja sama dengan BPJS.
“Gaji yang diterima oleh Aris adalah panjar, dan sisa gaji akan dibayarkan setelah kerja sama dengan BPJS berlangsung selama tiga bulan,” katanya.
Fikri juga menyoroti bahwa jumlah Rp 92 ribu yang diterima oleh Aris setelah kerja sama BPJS sudah termasuk potongan iuran BPJS. “Setiap perusahaan melakukan potongan iuran BPJS, tetapi sisa pembayaran menjadi tanggung jawab kami,” ujarnya.
Dalam hal pemutusan kontrak, Fikri menjelaskan bahwa keputusan tersebut diambil berdasarkan evaluasi kinerja karyawan. “Aris telah dua kali dicari di rumah sakit saat jam kerja dan tidak ditemukan di tempat. Selain itu, ia juga tidak masuk kerja selama satu hari tanpa pemberitahuan, yang menyebabkan tugasnya tidak terlaksana dengan baik,” ungkap Fikri.
Ia menambahkan bahwa Aris juga membuat status yang dinilai merugikan rumah sakit, yang menjadi salah satu alasan pemutusan kontraknya. “Kami menilai bahwa Aris tidak bisa bekerja sama dengan baik, dan itu menjadi bahan evaluasi kami yang dibawa ke dewan pembina yayasan,” jelasnya.
Sementara itu, Fikri menegaskan bahwa RS PMI Sultra selalu membuka ruang komunikasi bagi para karyawannya. “Kami selalu terbuka untuk komunikasi, baik itu masalah pegawai, keuangan, maupun teknis lainnya. Jika ada yang perlu diperbaiki, kami siap memperbaikinya,” katanya.
Fikri juga memastikan bahwa pelayanan di RS PMI Sultra tidak akan terganggu oleh isu-isu yang beredar. “Pelayanan kami tetap prima dan tidak ada sangkutannya dengan berita-berita ini. Kami akan terus melayani sepenuh hati,” pungkasnya.
Laporan: Denyi Risman