Daerah  

Sampah Menumpuk di Muna Barat, Warga: Kalau Begini Terus, Buat Apa Ada DLH?

Bupati Muna Barat, La Ode Darwin, bersama Wakil Bupati, Ali Basa, meninjau kondisi tumpukan sampah di Pasar Lawa, Selasa (11/3). Foto: Dok. Istimewa.

Muna Barat – Kabupaten Muna Barat kembali terjebak dalam lingkaran masalah klasik: sampah yang kian menggunung, sementara solusi pemerintah masih sebatas bayang-bayang. Di Pasar Lawa, tumpukan sampah seperti bom waktu yang setiap saat bisa meledakkan bau busuk ke rumah warga.

“Harusnya Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) proaktif. Kalau angin kencang, bau sampah masuk sampai ke dapur,” keluh Syawal, warga Desa Watumela, Kecamatan Lawa, Senin (17/3).

Syawal, yang rumahnya hanya selemparan batu dari pasar dan bak sampah, merasa kesehariannya terganggu oleh limbah yang dibiarkan menumpuk. Keluhan warga terus menggema, tapi tanggapan pemerintah tak lebih dari janji yang tertiup angin.

“Setiap hari kami harus menghirup bau busuk. Sampah dibiarkan menumpuk berhari-hari, apalagi kalau hujan, makin parah. Kami sudah sering lapor, tapi tetap saja dibiarkan. Kalau begini terus, buat apa ada DLH?” tegasnya.

Pemerintah sebenarnya telah mencanangkan pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sejak 2018. Alimran, Kepala DLH kala itu, membawa usulan ini hingga ke pemerintah pusat. Tahun 2021, anggaran Rp17,5 miliar pun disetujui, dan rencana pembangunan dijadwalkan dimulai pada 2022.

Namun, sejak pergantian kepemimpinan di DLH pada 2022, proyek ini berjalan di tempat. Alih-alih TPA, konsepnya kini berubah menjadi Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) yang diklaim lebih modern.

“TPA yang ditetapkan di Sawerigadi dan Bungkolo harusnya sudah dibangun tahun ini, tapi karena ada penolakan masyarakat, kita cari lokasi baru yang jauh dari permukiman,” ujar Bupati Muna Barat, La Ode Darwin.

“Prosesnya harus dari awal lagi, jadi paling cepat 2026 baru bisa dibangun,” tambahnya.

Darwin juga menyoroti kesalahpahaman masyarakat terhadap TPA. “Mereka mengira ini tempat pembuangan sampah biasa, padahal sampahnya akan diolah dengan teknologi modern,” katanya.

Pemerintah merancang sistem sanitary landfill, di mana sampah akan dipadatkan dan ditutup tanah untuk mengurangi pencemaran lingkungan. TPST juga akan dilengkapi fasilitas daur ulang agar limbah bisa dimanfaatkan kembali.

Sambil menunggu TPST yang masih sebatas wacana, pemerintah berjanji menyiapkan tempat pembuangan sementara. “Kami akan siapkan bak sampah dan satu unit mobil pengangkut tahun ini,” kata Darwin.

Namun, di tengah hiruk-pikuk keluhan warga, Kepala DLH Muna Barat, La Edi, justru menilai masalah sampah ini belum masuk kategori darurat.

“Kalau dibandingkan daerah lain, volume sampah di Muna Barat masih belum jadi ancaman. Tumpukan sampah hanya ada di beberapa pasar seperti Lawa dan Guali,” ujarnya.

Terkait TPST, La Edi menyebut pencarian lokasi masih berlangsung. “Ada beberapa calon lokasi yang akan kami tinjau dan laporkan ke Bupati,” katanya.

Menurutnya, lokasi pembuangan sementara telah disiapkan di lahan warga di Desa Sidamangura, sementara opsi untuk TPST ada di Desa Lasama dengan luas 5 hektare, sekitar 2 km dari garis pantai.

Kendala lain yang menghambat adalah perubahan nomenklatur dari TPA ke TPST, yang menyebabkan dokumen pendukung seperti Detail Engineering Design (DED) harus diperbarui.

Selain itu, La Edi mengakui anggaran menjadi batu sandungan utama. “Keluhan terbesar masyarakat memang soal sampah, tapi kalau tanpa anggaran yang cukup, pengelolaan sampah akan sulit dilakukan,” pungkasnya.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!