Bombana – Para pelaku jasa konstruksi di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, tengah dilanda keresahan. Menjelang tutup tahun anggaran 2025, masih banyak proyek pembangunan yang bersumber dari APBD belum juga rampung.
Penyebabnya, material bangunan seperti batu, timbunan, dan pasir semakin sulit didapatkan. Kalaupun ada, harganya melambung tinggi karena harus dipasok dari luar daerah. Kondisi ini membuat para kontraktor kelimpungan, sebab mereka sudah meneken kontrak dengan pemerintah daerah, namun tak mampu menuntaskan pekerjaan akibat ketiadaan tambang batu legal di Bombana.
“Kami dihadapkan pada situasi yang serba salah. Kami berharap persoalan ini benar-benar jadi perhatian bersama,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Konstruksi Indonesia (Aspekindo) Kabupaten Bombana, Asrin Sarewo, Senin (13/10).
Asrin tak menampik bahwa aktivitas tambang batu ilegal memang terjadi di Bombana dan kini jadi sorotan. Menurutnya, satu-satunya perusahaan tambang batu resmi di daerah itu hanyalah PT Bombana Maju Makmur (BMM). Namun, izin BMM hanya untuk memenuhi kebutuhan internal Jhonlin Grup, bukan untuk dijual secara komersial.
“Kalaupun dijual keluar, jumlahnya tetap tidak bisa memenuhi semua permintaan batu di Bombana,” jelasnya.

Ia menambahkan, tambang batu ilegal sebenarnya bukan hanya ada di Bombana. Sejumlah daerah lain di Sultra juga memanfaatkan material dari tambang tak berizin. Bedanya, di daerah-daerah itu pembangunan tetap berjalan dan mampu memberikan pendapatan asli daerah (PAD).
“Uniknya, di Bombana justru seolah jadi sesuatu yang tabu,” sindir Asrin.
Dengan sisa waktu kurang dari dua bulan sebelum tutup tahun anggaran, Asrin meminta seluruh pihak, termasuk Forkopimda Bombana, agar memberi kelonggaran dan kebijaksanaan bagi para rekanan. Tujuannya agar proyek yang sudah berkontrak bisa diselesaikan tepat waktu, termasuk kebutuhan masyarakat untuk membangun rumah.
“Kalau dilarang total mengambil batu dari lokasi yang belum berizin, saya bisa pastikan tidak ada satu pun pembangunan yang jalan di Bombana,” tegasnya.
Menurut Asrin, jika kontraktor dipaksa mengambil batu hanya dari tambang resmi, maka semua proyek di Bombana akan macet. Batu dari daerah legal seperti Tinanggea dan Moramo di Konawe Selatan harganya terlalu tinggi dan jaraknya jauh.
“Biayanya di luar pagu anggaran. Ada rekan kami yang tetap nekat ambil batu di Tinanggea, harganya sampai Rp1,3 juta per ret, sementara HPS Pemda Bombana hanya sekitar Rp800 ribu. Kalau begini, proyek pasti merugi dan PAD juga hilang,” ungkapnya.
Asrin menegaskan, Aspekindo bukan bermaksud menoleransi pelanggaran hukum. Namun, pihaknya meminta kebijakan sementara agar proyek yang sudah berkontrak dapat diselesaikan lebih dulu.
“Izinkan kami menyelesaikan pekerjaan tahun ini. Kami akui, ini memang tidak ideal. Tapi kalau di Bombana ada tambang resmi dan kami tetap cari yang ilegal, itu baru pantas disalahkan,” tutupnya.
Editor: Muh Fajar








