Tersangka Sebut Eks Gubernur-Sekda Sultra Nikmati Duit Korupsi Kantor Penghubung

Momen saat Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) saat itu, Ali Mazi, melantik Asrun Lio sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Sultra di Aula Merah Putih Rumah Jabatan Gubernur, Rabu, 11 Januari 2023. Foto: Dok. Istimewa.

Kendari – Wa Ode Kanufia Diki (WKD), tersangka kasus dugaan korupsi belanja Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pelumas di Kantor Badan Penghubung Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) di Jakarta, akhirnya angkat bicara soal perkara yang menjerat klien mereka.

Melalui ketua tim kuasa hukum WKD, Aqidatul Awwami, menegaskan bahwa tudingan kliennya menikmati uang hasil korupsi tidak benar. Menurutnya, tidak ada bukti bahwa WKD pernah menerima dana tersebut, baik dalam bentuk tunai, transfer, maupun barang.

“Tidak dinikmati oleh Ibu WKD, tidak ada ditemukan dalam bentuk barang, tidak mengalir ke rekening, bahkan sampai ke pencucian uang pun tidak ditemukan,” kata Aqidatul saat ditemui di salah satu kafe di Kendari, Selasa (28/10) dilansir dari Detiksultra.

Ia menjelaskan, dana yang menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) senilai sekitar Rp 560 juta untuk periode Januari hingga Desember 2023, justru digunakan untuk kepentingan pribadi mantan Gubernur Sultra, Ali Mazi, beserta anaknya, dan Sekretaris Daerah (Sekda) Sultra, Asrun Lio.

Menurutnya, dana itu dipakai untuk kebutuhan rumah tangga pribadi Ali Mazi di Jakarta, seperti pembayaran listrik, belanja kebutuhan anak, memperbaiki mainan, membayar pembantu rumah tangga, hingga biaya antar jemput anaknya.

“Anak bungsu Ali Mazi kalau belanja di Indomart, sekali belanja bisa Rp10 juta sampai Rp20 juta,” ungkapnya.

Ia juga menuturkan, putra Ali Mazi yang kini menjabat sebagai Bupati Buton, Alvian, kerap memerintahkan staf Kantor Penghubung untuk menjemputnya dari Singapura dengan mobil pilihan sendiri, menggunakan anggaran kantor tersebut.

“Sekda Sultra juga sama, anggaran itu diduga digunakan untuk membiayai acara ulang tahunnya,” tambahnya.

Aqidatul membeberkan bahwa demi menutupi kebutuhan pribadi Ali Mazi, keluarganya, dan Sekda Sultra, para staf di Kantor Penghubung terpaksa mencari pinjaman atau menalangi terlebih dahulu ketika dana belum cair.

Setelah anggaran masuk, kata dia, mereka membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang disetujui bendahara, kemudian ditandatangani oleh WKD untuk pencairan dana.

“Misalnya, belum ada uang dari pemerintah, tapi Ali Mazi dan pejabat lain sudah minta, maka staf cari uang dulu atau mengutang. Setelah cair, mereka buat LPJ untuk menutupi pengeluaran itu,” jelasnya.

Ia juga mengungkapkan perbedaan pola ketika WKD digantikan oleh Yusra Yuliana Basra (YY) sebagai Pelaksana Tugas Kepala Kantor Penghubung pada Maret 2023.

Menurutnya, di masa YY, modusnya berubah menjadi penggunaan rekening penampung atas nama Ridho, dengan dalih belanja BBM dan pelumas.

Padahal, kata Aqidatul, sejak Januari 2023, beberapa dokumen sudah bukan lagi ditandatangani oleh WKD, melainkan oleh YY, meski secara resmi WKD baru diganti pada Maret.

Terkait alasan pemberhentian WKD, ia menyebut kliennya diganti karena menolak mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang tidak sesuai aturan.

“Kenapa dia diberhentikan, karena klien kami sudah tidak mau melakukan hal-hal yang tidak benar. Karena sudah mulai membangkang, akhirnya diganti,” ujarnya.

Ia bahkan menuturkan bahwa WKD pernah meminta saran kepada Sekda Sultra tentang cara mempertanggungjawabkan dana yang digunakan di luar ketentuan.

“Pak Sekda bilang, pintar-pintar kalian lah. Itu sesuai juga dengan pernyataan dua tersangka lain,” katanya.

Menurut Aqidatul, dua tersangka lain, yakni Adi dan Yusra, juga mengaku bahwa jabatan mereka di Kantor Penghubung hanya formalitas belaka, karena mereka sejatinya ditugaskan untuk melayani kebutuhan pribadi para pejabat.

Untuk itu, pihaknya meminta agar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra juga memeriksa mantan Gubernur Ali Mazi guna memastikan siapa sebenarnya yang menikmati uang hasil korupsi tersebut.

“Klien kami menyampaikan bahwa ada anggaran yang digunakan untuk keperluan pribadi Gubernur. Kami berharap Kejati Sultra memeriksa beliau agar jelas kemana dana itu mengalir,” tegasnya.

Ali Mazi Diduga Titip Anggaran di Pagu Kantor Penghubung

Anggota tim kuasa hukum WKD lainnya, Jusmang Jalil, turut mengungkap praktik kolusi yang diduga sudah berlangsung sejak sebelum adanya temuan BPK.

Menurutnya, pada 2020, dua bulan setelah dilantik menjadi Kepala Kantor Penghubung Sultra-Jakarta, WKD dipanggil oleh Ali Mazi ke Rumah Jabatan Gubernur di Kendari. Saat itu hadir pula mantan Kepala BPKAD Sultra, Isma dan Kepala Bappeda Sultra, Robert.

Dalam pertemuan tersebut, Ali Mazi disebut meminta agar anggaran sebesar Rp 3 miliar dimasukkan ke dalam pagu Kantor Penghubung Sultra-Jakarta. Dana itu, kata Jusmang, murni untuk kepentingan pribadi sang gubernur.

Padahal, pagu resmi Kantor Penghubung tahun 2020 hanya sekitar Rp 1,3 miliar, sehingga total pagu membengkak menjadi Rp 4,3 miliar.

“Anggaran Rp 3 miliar itu tidak melalui pembahasan di DPRD. Ini murni inisiatif Pak Gubernur (Ali Mazi) yang meminta agar dimasukkan ke pagu Kantor Penghubung, dan diamini oleh pejabat terkait. WKD saat itu baru dilantik, jadi tidak tahu apa-apa,” ungkap Jusmang.

Ia menambahkan, praktik tersebut terus berlanjut hingga 2023, meskipun nilai dana titipan yang disebut berasal dari Ali Mazi berubah-ubah setiap tahun.

“Anggaran Rp 3 miliar itu awalnya, tapi nilainya tidak tetap. Yang jelas, dana titipan selalu disatukan dengan pagu Kantor Penghubung. Kalau ini diusut sejak 2020, pasti kerugian negara jauh lebih besar. Tapi anehnya, BPK tidak menemukan apa pun pada 2020-2022,” pungkasnya.

Hingga berita ini ditayangkan pada Rabu, 29 Oktober 2025, redaksi Sultranesia belum berhasil mengonfirmasi Ali Mazi. Upaya konfirmasi masih terus dilakukan.

Sementara itu, di hari yang sama, Sekda Sultra, Asrun Lio, belum merespon permintaan konfirmasi dan klarifikasi yang dikirim redaksi Sultranesia melalui pesan singkat Whatsapp pribadinya.

Akun Whatsapp Asrun Lio nampak online namun tak merespon permintaan klarifikasi hingga berita ini ditayangkan.

Sebelumnya diberitakan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan anggaran APBD Tahun 2023 terkait belanja bahan bakar minyak (BBM), pelumas, dan kegiatan lainnya di Badan Penghubung Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) di Jakarta.

Ketiga tersangka masing-masing berinisial WKD, AK, dan YY. Penetapan mereka dilakukan setelah tim penyidik Kejati Sultra menemukan bukti permulaan yang cukup berdasarkan hasil pemeriksaan saksi, ahli, surat, serta keterangan para tersangka. Surat penetapan tersangka diterbitkan pada Rabu, 22 Oktober 2025.

Asisten Intelijen Kejati Sultra, Muhammad Ilham, menjelaskan bahwa modus yang digunakan para tersangka cukup rapi.

Tersangka WKD selaku Kepala Badan Penghubung saat itu diduga menggunakan anggaran pembelian BBM yang seharusnya untuk operasional kantor, justru dipakai menutupi pengeluaran pribadi.

Dana tersebut dicairkan dengan cara seolah-olah diserahkan kepada para pegawai, namun setelah cair diminta kembali oleh WKD.

Untuk membuat laporan pertanggungjawaban seolah-olah benar, WKD kemudian memerintahkan AK membuat bukti struk pembelian BBM fiktif.

Ketika posisi Kepala Badan Penghubung dijabat oleh YY, modus berubah menjadi pengadaan kupon BBM dengan dalih kerja sama dengan enam SPBU di Jakarta.

Namun hasil penyidikan mengungkap hanya satu SPBU yang benar-benar memiliki kerja sama, sementara lima lainnya fiktif. Dana dari kontrak palsu itu kemudian digunakan untuk kepentingan pribadi YY dan AK.

“Total kerugian negara dalam perkara ini masih dalam proses perhitungan oleh auditor,” kata Ilham.

Ketiganya telah ditahan selama 20 hari, terhitung sejak 22 Oktober hingga 10 November 2025. WKD dan YY ditahan di Lapas Perempuan Kelas II Kendari, sementara AK ditahan di Rutan Kelas IIA Kendari.


Editor: Redaksi

error: Content is protected !!