Kendari – Seperti dua sisi mata uang, di satu sisi tenaga kerja pribumi harus bekerja keras dan berpeluh keringat, sementara di sisi lain tenaga kerja asing menikmati kenyamanan bak raja. Begitulah gambaran yang diungkapkan oleh mantan karyawan PT Obsidian Stainless Steel (OSS), Katty Sabara, yang mengungkap ketimpangan mencolok dalam perlakuan perusahaan terhadap pekerja lokal dan tenaga kerja asing.
Katty yang kini tak lagi menjadi bagian dari PT OSS, harus menelan kenyataan pahit setelah menerima surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Alasannya? Ia mengungkap realitas di balik tembok perusahaan yang selama ini tak banyak diketahui publik.
“Karna saya mengeluarkan ini apa yang menjadi rahasia di dalam perusahaan, saya ungkapkan ke publik sehingga saya mendapatkan sanksi PHK,” ungkapnya, Senin (10/3).
Namun, di balik surat pemecatan yang diterimanya, Katty melihat pola yang mengusik rasa keadilan. Menurutnya, tenaga kerja pribumi diperlakukan dengan standar berbeda dibandingkan pekerja asing, khususnya yang berasal dari China.

“Yang aneh-aneh yah dari pihak managemen. Kenapa kalau orang Indonesia cepat sekali pemecatannya. Toh kalau orang China, tidak,” tambahnya dengan nada heran.
Ia bahkan mengungkap fakta mencengangkan bahwa sekitar 90 persen tenaga kerja pribumi bekerja di lapangan, melakukan pekerjaan kasar, sementara pekerja asing lebih banyak berperan sebagai ‘pengawas’—atau bahkan lebih buruk, hanya menikmati waktu mereka dengan bersantai.
“Kami 90 persen tenaga pribumi yang mengerjakan semua, yang pekerjaan kasar. China tinggal menyuruh, tinggal main HP, main game, nonton bahkan mereka tidur. Tapi kalau kita baru mengantuk sudah langsung surat peringatan,” tegasnya.
Pernyataan Katty ini mendapat respons dari Wakil Ketua Komite II DPD RI, La Ode Umar Bonte. Ia merasa heran dengan perlakuan manajemen PT OSS yang seolah menutup mata terhadap ketimpangan ini.
“Apa perbedaannya pekerja lokal dan pekerja China. Jadi, terlalu berlebihan ternyata yah,” ujar pria yang akrab disapa UB ini.
Menurutnya, perusahaan seharusnya menempatkan semua tenaga kerja pada posisi yang sama, tanpa membeda-bedakan hanya karena perbedaan asal negara.
Editor: Denyi Risman