Timbulkan Bencana, Aktivitas Penambangan PT MSSP Harus Dievaluasi

Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo, Ashari. Foto: Dok. Istimewa.

Explor Anoa Oheo atau EXOH Sulawesi Tenggara, organisasi yang fokus terhadap isu lingkungan di Konawe Utara menyoroti soal banjir lumpur yang menerjang Desa Boenaga, Kecamatan Lasolo Kepulauan, pada Rabu (6/7) lalu.

Banjir lumpur itu diakibatkan karena sediment pond yang dibangun PT Manunggal Sarana Surya Pratama (MSSP) jebol.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan EXOH dari keterangan warga setempat, bencana terjadi pada subuh menjelang pagi. Ada 12 rumah warga terdampak, gedung sekolah dasar, termasuk halaman sekolah dan ruas jalan digenangi lumpur berwarna merah kecoklatan setinggi kurang lebih satu meter.

Direktur Eksekutif Explor Anoa Oheo, Ashari menyayangkan hal itu terjadi. Dia meminta agar aktivitas penambangan PT MSSP dievaluasi.

Menurut Ashari, semestinya perusahaan melakukan edukasi lebih awal tentang penanggulangan bencana, yang salah satunya adalah memberikan informasi peringatan akan potensi bahaya pencemaran kepada warga.

“Hal demikian malah terbalik, justru warga setempat yang seringkali menyampaikan peringatan itu ke pihak perusahaan, namun enteng ditanggapinya,” kata Ashari, Jumat (8/7).

Bentang alam Pegunungan Boenaga sebelum dieksploitasi terdapat dua titik utama aliran air yang menghubungkan ke laut. Antaranya satu aliran di titik tempat kejadian banjir, dan satunya lagi ke arah laut Desa Boedingi.

Menanggapi soal aksi cepat penanganan dampak adalah bentuk penyesalan perusahaan, ambigu yang berlebihan, agar menjadi perhatian klasik dengan meyakinkan publik bahwa urusan sudah selesai. Apalagi dengan alibi dikatakan bahwa bencana terjadi di luar kehendak pihak perusahaan, seolah-olah menyalahkan faktor alam.

Seharusnya, kata Ashari, hujan tidak bisa disalahkan, pembuatan kolam pengendapan atau sediment pont, seharusnya dilakukan kajian teknis lingkungan dan kajian geotek, kajian lingkungan dengan melakukan pengambilan data mulai dari pemetaan aliran air, perhitungan ketsmen area penambangan, pengambilan data curah hujan tertinggi, kemudian dilakukan perhitungan untuk menentukan luasan area sediment pont, sedangkan kajian geotek untuk menentukan kestabilan lereng sehingga tidak terjadi longsor.

“Kalau pengakuan sudah melakukan langkah preventif, lalu bukti kajiannya mana? Apakah sudah ada persetujuan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Inspektur Tambang,” tanya Ashari menyambung pernyataannya.

Jika jawaban sepihak seperti itu oleh PT MSSP, maka dikemudian hari akan terjadi dampak yang lebih dahsyat lagi. Andai kata masyarakat balik bertanya minta upaya restorasi lingkungan, apakah perusahaan mampu merealisasikan.

Ashari menegaskan bahwa upaya prenfentif PT MSSP adalah rangkaian penanganan yang sifatnya sementara sebagai bagian kewajiban dan tanggung jawab sosial perusahaan, bukan berarti perkara sudah selesai. Sebab, kasus semacam ini menyangkut tehnis tata kelola pertambangan dan lingkungan, tidak ada undang-undang lingkungan yang menyebutkan baku atur atau atur damai antara perusahaan dengan masyarakat.

Maka dari itu, penegakkan hukum lingkungan hidup diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang akan ditinjau, baik dari sisi perdata maupun pidananya.

Menurutnya, kasus banjir bandang dampak dari ulah kegiatan pertambangan PT MSSP perlu tenaga ahli personil dari Kementerian LHK RI khusus bidang ekonomi lingkungan untuk mengkaji serta menghitung seberapa besar kerugian material yang ditimbulkan.

“Kasus perdata semacam inilah mestinya kita pahami bersama bahwa penyelesaiannya bukan soal kemauan pihak perusahaan, mau bayar berapa atau sebaliknya masyarakat minta berapa,” ungkapnya.

Ditinjau dari sisi pidananya, dugaan sementara PT MSSP melakukan eksploitasi tanpa izin lingkungan, sebab PT MSSP non izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Kementerian Kehutanan RI.

Pemerintah Daerah Konawe Utara, kata Ashari, harus tegas untuk mengeluarkan rekomendasi pemberhentian sementara aktivitas penambangan sebelum ada kajian teknisnya.

“Hutan Desa Boenaga Kepulauan murka adalah fakta yang tidak terbantahkan tentang berbagai isu sengkarutnya pertambangan di Sulawesi Tenggara. Kurangnya pengawasan terpadu serta lemahnya penindakan hukum sebagai bukti “nikel” lahan transaksional.


Editor: Wiwid Abid Abadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!