Muna Barat – SD Negeri 7 Tiworo Utara di Desa Tondasi menjadi gambaran nyata potret pilu pendidikan. Gedung sekolah yang rusak parah ini tetap digunakan untuk kegiatan belajar mengajar meski kondisi bangunannya sangat membahayakan.
Plafon di ruang kelas IV, V, dan VI sudah hilang, menyisakan kayu yang mulai rapuh. Dindingnya retak, lantai pecah, dan gedung yang mulai lapuk ini bahkan menjadi sarang kelelawar.
Setiap proses belajar mengajar, kelelawar-kelelawar itu beterbangan, meninggalkan kotoran dan bau menyengat di dalam ruangan.
“Kita lihat sendiri, ada ruangan yang sudah tidak ada plafonnya. Tinggal sisa kayu-kayu, dan bahkan ada yang sudah tidak ada kayunya,” kata La Jidi, salah satu guru senior, saat ditemui di sekolahnya, Sabtu (18/1).
Bangunan ini, menurutnya, sudah rusak parah sejak beberapa tahun terakhir. Ketika musim hujan, air merembes ke dalam kelas, membuat ruang belajar banjir.
“Saat hujan, air masuk ke dalam ruangan,” ungkap La Jidi.
Kondisi menjadi lebih memprihatinkan saat musim barat tiba. Air laut pasang hingga ke gerbang sekolah, menyisakan genangan setinggi lutut orang dewasa. Lebih parah lagi, aroma kotoran dan urin kelelawar membuat siswa dan guru terganggu.
“Dulu ada guru dan siswa yang tidak tahan dengan bau kotoran kelelawar. Sampai ada guru yang bersin-bersin. Keberadaan kelelawar di gedung ini sudah sekitar dua tahun,” ujarnya.
Penjabat Bupati Muna Barat, Pahri Yamsul, yang meninjau kondisi ini mengaku prihatin. Ia menegaskan bahwa gedung sekolah tersebut membutuhkan perbaikan segera untuk keselamatan siswa dan guru.
“Saya melihat gedung ini sudah rusak. Saya meminta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Muna Barat untuk melakukan rehab berat sekolah ini. Karena dapat membahayakan keselamatan guru dan siswanya,” ujar Pahri.
Namun, rehabilitasi sekolah ini baru direncanakan masuk dalam Dana Alokasi Khusus (DAK) pada tahun 2026.
“Insyaallah, ke depan sekolah ini akan menjadi prioritas,” tambahnya.
Di tengah keterbatasan ini, semangat belajar siswa di SD Negeri 7 Tiworo Utara tetap tinggi. Meski harus belajar di ruangan yang membahayakan, mereka tetap menunjukkan antusiasme untuk menuntut ilmu.
Editor: Denyi Risman