Kendari – Dosen Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Ramadhan Kiro, menyampaikan kritik pedas terhadap tindakan oknum polisi Polres Baubau yang dinilai melanggar hukum dalam penanganan kasus M. Ihsan, warga Kelurahan Tarafu, Kecamatan Batu Poaro, Kota Baubau.
Ramadhan menegaskan bahwa penahanan Ihsan selama 2×24 jam tanpa surat resmi dan penyitaan mobilnya menunjukkan kegagalan aparat dalam menegakkan prinsip hukum yang adil dan profesional.
Dalam keterangannya, Kamis (23/1), Ramadhan menyoroti kejanggalan prosedural yang dilakukan oleh oknum polisi. Menurutnya, tindakan penahanan tanpa surat resmi merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18 KUHAP, yang mengatur bahwa petugas wajib menunjukkan surat tugas serta surat perintah penangkapan kepada tersangka.
“Jika prosedur ini tidak dijalankan, maka penangkapan dianggap tidak sah secara hukum. Penahanan tanpa alasan yang jelas dan tanpa dasar hukum yang jelas adalah tindakan sewenang-wenang yang mencederai prinsip keadilan,” tegasnya.
Ramadhan juga mengecam penyitaan mobil milik Ihsan yang dilakukan oleh polisi. Ia menyebut penyitaan tersebut bertentangan dengan Pasal 39 KUHAP, yang menyatakan bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan jika barang tersebut terkait atau memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana atau melalui putusan pengadilan.
Ramadhan menambahkan, penahanan terhadap Ihsan juga tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP, yang mengatur bahwa penahanan hanya dilakukan jika terdapat kekhawatiran tersangka melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.
“Jika seseorang langsung ditahan tanpa penyelidikan dan bukti yang cukup bahwa telah terjadi sebuah peristiwa pidana, itu adalah pelanggaran serius terhadap KUHAP. Polisi telah bertindak di luar batas kewenangan yang ditetapkan dalam hukum acara pidana,” katanya.
Menurut Ramadhan, kasus utang piutang antara Ihsan dan JB seharusnya diselesaikan melalui jalur hukum perdata terlebih dahulu, karena berkaitan dengan wanprestasi.
Ia menilai langkah oknum polisi memproses perkara ini tanpa melakukan penyelidikan dan penyidikan terlebih dahulu merupakan proses penyimpangan dari hukum acara pidana dan cenderung tergesa-gesa.
“Kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan dalam masalah utang piutang jika terjadi wanprestasi. Tuduhan dugaan tindak pidana penipuan harus diawali dengan dua alat bukti yang cukup melalui proses penyelidikan dan penyidikan, bukan hanya klaim dari pihak pelapor,” jelasnya.
Ramadhan menilai bahwa tindakan oknum polisi dalam kasus ini mencerminkan kegagalan dalam menegakkan prinsip hukum yang profesional dan berkeadilan. Ia menyoroti penyitaan aset tanpa putusan pengadilan, pemaksaan tanda tangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), hingga penahanan tanpa dasar hukum sebagai bukti ketidakprofesionalan aparat.
“Ini bukan hanya pelanggaran hukum acara pidana, tetapi juga bentuk pelecehan terhadap kepercayaan publik. Polisi seharusnya menjadi pengayom masyarakat, bukan justru melakukan tindakan sewenang-wenang yang melukai rasa keadilan,” tegas Ramadhan.
Ia juga mendorong Ihsan untuk mengambil langkah hukum dengan mengajukan praperadilan guna menguji keabsahan penahanan dan penyitaan yang dialaminya.
“Langkah praperadilan adalah hak Ihsan untuk mencari keadilan. Jika terbukti tindakan polisi tidak sah, Ihsan berhak meminta ganti rugi atau rehabilitasi atas nama hukum,” imbuhnya.
Ramadhan mendesak Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tenggara untuk segera memeriksa oknum polisi yang diduga melampaui kewenangannya dalam kasus ini.
“Ini menjadi perhatian serius bagi aparat kepolisian untuk mengambil langkah cepat dalam menyelamatkan marwah kepolisian yang sangat dipercaya sebagai pengayom masyarakat. Saya percaya bahwa Divisi Propam akan serius menangani kasus ini untuk menyelamatkan citra kepolisian,” tutupnya.
Editor: Denyi Risman