Kendari – Gemuruh mesin tambang di Kabaena Timur terus menggerus perut bumi, tapi yang tersisa bagi warga hanya lumpur, banjir, dan kekhawatiran. PT Narayana Lambale Selaras (NLS), yang dahulu beroperasi dengan nama PT Billy Indonesia, kembali menjadi sorotan.
Kali ini, bukan tentang keberhasilan eksploitasi nikel, melainkan dampak yang mereka tinggalkan: robohnya talud Kali Lambale dan banjir yang menerjang pemukiman warga.
Anggota DPRD Bombana, Sudiami, dengan tegas menyuarakan kegeramannya. Ia menuding PT NLS sebagai dalang dari bencana yang menimpa warga.
“Pembangunan talud Kali Lambale itu karena perjuangan yang cukup panjang dan penuh kesabaran hingga bertahun-tahun, itupun yang direspon hanya kurang lebih 60 meter saja, dan itu perjuangan masyarakat Lambale,” ungkap Sudiami, Sabtu (1/3).
Namun, semua upaya masyarakat itu kini seolah sia-sia. Sungai Kali Lambale meluap, lumpur dan batang kayu menghantam pagar talud hingga roboh. Warga tak hanya kehilangan pertahanan dari banjir, tapi juga merasa dikorbankan demi kepentingan korporasi.
Bukan kali pertama tambang di Kabaena Timur memicu kekhawatiran. Dari waktu ke waktu, keberadaan PT NLS lebih sering diingat bukan karena kesejahteraan yang dijanjikan, melainkan bencana yang datang berulang.
Sudiami tak menutup-nutupi kegelisahannya. Menurutnya, perusahaan yang seharusnya menjaga lingkungan justru abai terhadap dampak yang mereka timbulkan.
“Ini tidak bisa dibiarkan, pihak perusahaan jangan hanya tutup mata saja terkait jebolnya Talud Kali Lambale,” tegasnya.
Nada serupa juga disampaikan Lurah Lambale, Huda Alfarisi Mubarak. Ia mengaku sudah berulang kali meminta perusahaan untuk membangun bronjong sebelum melakukan penambangan di sekitar sungai. Namun, permintaan itu hanya berakhir sebagai suara yang menggema di ruang kosong.
“Saat itu saya hanya dapat menyampaikan permohonan, sebelum melakukan penambangan agar Sungai Kali Lambale dilakukan pembangunan bronjong, namun tidak ada sama sekali respon dari pihak perusahaan,” ungkapnya dengan nada kesal.
Yang lebih mencengangkan, sehari setelah banjir menerjang, pihak perusahaan bersama pemerintah setempat melakukan pengecekan ke lokasi. Dugaan muncul bahwa air dari cekdam milik PT NLS sengaja dialirkan sebagian demi mencegah bendungan jebol, tapi justru berakibat fatal bagi warga.
“Akibat aliran air dari cekdam perusahaan (PT NLS) menghantam pagar Kali Lambale sehingga roboh yang mengakibatkan banjir di Kelurahan Lambale,” pungkasnya.
Di sisi lain, PT NLS tetap bersikukuh bahwa mereka tak bersalah. Humas PT NLS, Hamid, membantah tudingan bahwa aktivitas tambang menyebabkan banjir.
“Tadi kita sudah cek sama Camat dan Lurah, itu dari bendungan yang meluap, bukan gara-gara aktivitas perusahaan,” katanya.
Namun, jawaban ini tak serta-merta meredam kemarahan warga. Masyarakat sudah terlalu sering mendengar pembelaan, sementara lingkungan mereka terus hancur.
Kasus ini bukan satu-satunya. Di berbagai sudut Kabaena, tambang lain seperti PT Timah Investasi Mineral (TIM) dan PT Tambang Bumi Sulawesi (TBS) juga menghadapi aduan serupa. Kini, warga hanya bisa bertanya: sampai kapan kepentingan perusahaan lebih didengar daripada jeritan rakyat?
Pulau Kabaena mungkin kaya akan nikel, tapi bagi masyarakatnya, kesejahteraan masih sebatas ilusi.
Editor: Denyi Risman