Kendari – Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Pemprov Sultra) kini harus berjalan dengan sepatu sempit setelah kebijakan efisiensi anggaran memangkas biaya perjalanan dinas hingga 50 persen.
Pemangkasan ini ibarat angin kencang yang mengguncang banyak sektor, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sultra yang kini harus mencari cara agar roda perencanaan tetap berputar tanpa bahan bakar yang cukup.
Langkah ini bukan tanpa alasan. Pemangkasan anggaran perjalanan dinas merupakan amanat dari Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Keuangan serta diperkuat oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam APBN dan APBD 2025. Beleid tersebut diteken Presiden Prabowo Subianto pada 22 Januari 2025.
Kepala Bappeda Sultra, J Robert, menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan agar pengeluaran daerah lebih terfokus pada program prioritas nasional maupun daerah.
Namun, ibarat mesin yang kehilangan oli, pengurangan anggaran ini berpotensi menghambat berbagai kegiatan krusial.
“Belanja yang tidak memiliki hubungan langsung dengan program prioritas akan dioptimalkan, dan salah satu langkah yang diambil adalah pemangkasan anggaran perjalanan dinas sebesar 50 persen,” jelas Robert, Sabtu (1/2).
Namun, pemotongan ini membawa badai tantangan bagi sejumlah instansi, terutama yang mengandalkan mobilitas tinggi dalam menjalankan tugasnya. Salah satu yang terdampak adalah DPRD Sultra, yang memiliki kewajiban melaksanakan reses hingga tiga kali dalam setahun.
“Dengan pemangkasan anggaran, pelaksanaan reses dikhawatirkan akan terhambat, yang pada akhirnya bisa memengaruhi fungsi legislasi dan sosialisasi peraturan daerah,” katanya.
Bukan hanya DPRD, Inspektorat Daerah Sultra pun terancam kehilangan taringnya dalam melakukan pengawasan. Dengan anggaran perjalanan yang ditekan, kegiatan audit dan pemeriksaan langsung ke kabupaten dan kota menjadi tantangan besar.
Pemangkasan ini juga mengancam kelancaran Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), evaluasi program, dan monitoring proyek pembangunan yang menjadi nyawa Bappeda Sultra dalam merancang arah pembangunan daerah.
Jika tak ada solusi, dokumen perencanaan strategis seperti RPJMD dan RKPD bisa kehilangan akurasi, layaknya kompas yang kehilangan utara.
“Kita berharap pemerintah pusat dapat memberikan pengecualian terhadap kegiatan yang bersifat strategis agar proses perencanaan pembangunan tetap berjalan optimal,” ujar Robert.
Sementara itu, Pemprov Sultra masih menahan lelang sejumlah proyek pembangunan demi menghindari kendala administratif akibat ketidakjelasan anggaran prioritas.
Seperti kapal yang menunggu angin, mereka memilih menunggu arahan lebih lanjut dari pemerintah pusat sebelum melangkah lebih jauh.
Untuk mendapatkan kepastian, Pemprov Sultra akan mengikuti rapat koordinasi dengan pemerintah pusat pada 6 Februari mendatang.
Harapannya, rapat ini bisa menjadi mercusuar yang menerangi arah kebijakan efisiensi, terutama bagi sektor-sektor yang bergantung pada perjalanan dinas.
Meski harus berjalan dengan kantong kempes, Pemprov Sultra berjanji akan tetap menjalankan kebijakan efisiensi ini sebaik mungkin.
“Kita akan tetap berupaya agar pelayanan pemerintahan tidak terganggu dengan adanya kebijakan ini dan program prioritas daerah dapat berjalan sesuai rencana,” pungkas Robert.