Berita  

Nentu: Dari Tali Merambat di Hutan Sulawesi Tenggara ke Lantai Pameran Internasional

Ilustrasi anyaman nentu. Foto. Dok. Istimewa.

Kendari – Sulawesi Tenggara, tanah yang penuh dengan keindahan alam dan tradisi, kini menjadi saksi lahirnya sebuah revolusi kecil dalam dunia kerajinan tangan. Di balik hutan yang lebat dan pohon-pohon tinggi yang menjulang, ada sebuah cerita yang menyentuh hati.

Kerajinan anyaman nentu, yang telah berakar sejak zaman dahulu di Kabupaten Muna, kini bukan hanya simbol budaya lokal, tetapi telah berubah menjadi produk yang melangkah jauh, mencapai pasar global.

Kerajinan nentu, yang terbuat dari batang tanaman merambat yang tumbuh liar di hutan-hutan Sulawesi Tenggara, telah menjadi produk unggulan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.

Tanaman nentu, dengan sifatnya yang kuat namun ringan, telah menjadi bahan baku bagi berbagai produk rumah tangga seperti alas piring, tempat tisu, hingga tudung saji. Keunikan bahan alami ini, yang tidak mudah lapuk, menjadikannya daya tarik tersendiri di mata dunia.

Namun, ada satu nama yang kini begitu identik dengan kerajinan nentu: Sarlin, perempuan asal Kabupaten Muna yang telah mengubah kerajinan tradisional menjadi peluang besar.

Dengan ketekunan dan sentuhan inovasi, Sarlin telah membuktikan bahwa nentu lebih dari sekadar produk lokal; ia adalah jembatan yang menghubungkan tradisi yang tak lekang oleh waktu dengan dunia yang lebih luas.

“Anyaman semacam ini sudah dibuat sejak zaman dulu di Muna dan ternyata bisa membuka peluang usaha baru,” ujar Sarlin, dengan semangat yang memancar.

Sarlin, yang memulai usahanya dengan penuh cinta terhadap kerajinan nentu, kini telah membuktikan bahwa tradisi ini dapat tumbuh menjadi kekuatan ekonomi yang besar.

Dalam sepuluh tahun terakhir, usahanya telah mencapai omzet hingga Rp15 juta per bulan, sebuah pencapaian luar biasa bagi seorang pengrajin lokal.

Perjalanan Sarlin tidaklah mulus. Seperti batang nentu yang melilit pohon, ia harus menghadapi berbagai rintangan dalam mengembangkan usahanya. Mulai dari keterbatasan bahan baku dan peralatan, hingga pasar yang belum terbuka sepenuhnya terhadap produk lokal.

Namun, dengan tekad yang kuat, Sarlin tidak menyerah. Setiap helai anyaman yang ia buat adalah karya seni yang layak dihargai.

Dengan memanfaatkan bahan baku dari daerah sekitar Kota Kendari, seperti Abeli Sawah, Abeli, dan Nambo, Sarlin berhasil mengembangkan berbagai produk kerajinan nentu yang lebih variatif.

Selain produk-produk tradisional seperti tudung saji dan alas piring, ia juga menciptakan tas, tempat air mineral, hingga aksesoris seperti gantungan kunci dan gelang. Produk-produknya kini tidak hanya diminati oleh pasar lokal, tetapi juga merambah pasar internasional, bahkan hingga Eropa.

Keberhasilan Sarlin dalam memperkenalkan produk kerajinan nentu di luar negeri tak lepas dari kerja sama dengan Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara, yang membantu memamerkan karyanya di Jerman dan Belanda.

Keunikan produk yang terbuat dari bahan alami, dikerjakan secara tradisional dengan ketelitian dan keterampilan tinggi, membuat kerajinan nentu semakin dilirik oleh pasar global.

Selain kualitas produk, salah satu kunci sukses Sarlin adalah kemampuannya membangun jaringan pemasaran. Dengan memanfaatkan media sosial dan platform e-commerce, Sarlin berhasil memperkenalkan produk kerajinan nentu ke dunia internasional.

Setiap produk yang dijualnya tidak hanya memiliki nilai seni, tetapi juga mengandung cerita budaya Sulawesi Tenggara yang kaya akan makna.

Yang lebih menarik lagi adalah bagaimana Sarlin memberdayakan ibu rumah tangga di sekitarnya untuk bergabung dalam proses produksi.

Dengan membuka lapangan pekerjaan bagi ibu rumah tangga, Sarlin tidak hanya membantu mereka secara finansial, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk berkontribusi pada perekonomian keluarga.

“Mereka bekerja dari rumah, sesuai dengan kesibukan mereka sebagai ibu rumah tangga. Saya merasa senang bisa membuka lapangan pekerjaan,” katanya, dengan mata yang berbinar penuh kebanggaan.

Keberhasilan Sarlin dalam mengembangkan usaha kerajinan nentu ini menjadi bukti bahwa tradisi tidak harus tergerus oleh modernisasi. Sebaliknya, dengan sentuhan inovasi dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman, tradisi bisa menjadi kekuatan ekonomi yang menggerakkan masyarakat menuju masa depan yang lebih cerah.

Kerajinan nentu, yang dulunya hanya dikenal di kalangan masyarakat lokal, kini telah menjelma menjadi produk unggulan yang dikenalkan ke seluruh dunia.

Selain itu, tradisi menganyam kerajinan nentu ini sangat lekat dengan kebiasaan masyarakat Lohia, sebuah desa di Kabupaten Muna yang telah mewarisi keahlian ini turun-temurun.

Di desa ini, menganyam bukan sekadar pekerjaan, tetapi juga sebuah seni yang penuh makna. Bagi masyarakat Lohia, setiap anyaman memiliki simbol tersendiri yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Anyaman nentu digunakan dalam upacara adat, ritual keagamaan, bahkan dalam kegiatan sosial seperti pernikahan dan khitanan.

Keluarga La Mulini dan Wa Hamdia, yang telah menganyam selama 35 tahun, adalah contoh nyata bagaimana tradisi ini tetap hidup. Mereka bukan hanya menghasilkan produk berkualitas, tetapi juga menjaga agar budaya menganyam tetap terjaga dan dihargai oleh generasi berikutnya.

Kini, anak-anak dan cucu-cucu mereka juga mewarisi keahlian menganyam ini, memadukan sentuhan seni kekinian dengan tradisi lama untuk menciptakan produk-produk yang tak hanya diminati pasar lokal, tetapi juga mulai dikenal di luar daerah.

Untuk harga, produk kerajinan nentu yang dihasilkan oleh pengrajin Lohia dan Sarlin memiliki variasi yang cukup beragam, tergantung pada jenis dan ukuran produk.

Sebagai contoh, gantungan kunci dan gelang anyaman dijual dengan harga sekitar Rp10.000 hingga Rp50.000, sementara produk seperti alas piring atau tatakan bisa dihargai mulai Rp20.000 hingga Rp100.000. Untuk produk-produk yang lebih besar, seperti tudung saji, harganya bisa mencapai Rp700.000 hingga Rp1 juta. Bosara (tempat untuk menaruh makanan) dijual dengan harga sekitar Rp120.000 hingga Rp250.000, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan pengerjaan.

Produk-produk ini menunjukkan bahwa meskipun bahan baku tanaman nentu bisa didapatkan secara gratis dari hutan, proses pembuatannya yang memakan waktu dan keterampilan membuatnya layak dihargai sesuai dengan kualitas dan keunikan produk tersebut.

Seperti tali merambat yang mengikat pohon-pohon di hutan Sulawesi Tenggara, kerajinan nentu kini telah menghubungkan dua dunia, dunia tradisi dan dunia global. Dari tangan-tangan terampil masyarakat, produk ini telah menembus batas-batas wilayah, membawa harapan bagi ekonomi lokal dan membuka peluang besar bagi Sulawesi Tenggara untuk bersaing di pasar internasional.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!
Exit mobile version