Kendari – Proyek pembangunan jetty tambang di pesisir Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, kian memicu kecaman. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyebut proyek ini bukan sekadar ancaman ekologis, melainkan juga sarat konflik kepentingan.
Ada dugaan kuat, segelintir elit pejabat publik berada di balik proyek ini, memanfaatkan kekuasaan demi memperlancar kepentingan korporasi tambang.
Direktur WALHI Sultra, Andi Rahman, menyebut bahwa proyek ini tak lahir dari kebutuhan rakyat, melainkan dari skenario elit yang berkelindan dengan bisnis tambang.
“Kami mencium adanya dugaan kuat bahwa rencana pembangunan jetty di Soropia dikendalikan oleh segelintir oknum pejabat publik yang memiliki kedekatan dengan perusahaan tambang. Ini bukan soal pembangunan untuk rakyat, ini tentang keuntungan korporasi,” tegas Rahman.
Jetty yang akan dibangun rencananya berada di wilayah tangkap nelayan, dan persis di kawasan ekosistem penting: mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Kerusakan di titik ini berarti memutus rantai kehidupan yang jauh lebih besar. Spesies seperti Tridacna spp. (kima raksasa) yang dilindungi, hidup di area ini. Begitu pula dengan ratusan jenis ikan karang.
Lebih jauh, WALHI menuding proses perencanaan proyek ini ditutup-tutupi dari publik. Tidak ada kajian lingkungan yang dipublikasikan, dan masyarakat yang terdampak langsung justru dibiarkan dalam gelap.
“Pembangunan jetty ini minim kajian lingkungan yang transparan dan tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Ini bukan proses yang sehat dalam demokrasi pembangunan,” kecam Rahman.
Sebagai bentuk perlawanan, WALHI Sultra melontarkan tiga desakan kepada pemerintah: pertama, menolak tegas pembangunan jetty di Soropia; kedua, menghentikan semua proses perizinan proyek yang disebut bermasalah; dan ketiga, mendorong pembangunan berbasis ekonomi perikanan berkelanjutan serta ekowisata yang berpihak pada masyarakat, bukan industri ekstraktif.
“Kami ingin pembangunan di wilayah pesisir berpihak pada rakyat, bukan menjadi alat akumulasi modal bagi segelintir elit,” tutup Andi Rahman.
Editor: Denyi Risman