Menyulam Asa di Jeruji Baja: TC Jadi Rajutan Baru Klien Narkotika Lapas Kendari

Sejumlah warga binaan kasus narkotika di Lapas Kelas IIA Kendari mengikuti sesi morning meeting sebagai bagian dari program rehabilitasi berbasis Therapeutic Community (TC), Rabu (14/5). Foto: Dok. Sultranesia.com/Denyi Risman.

Kendari – Di balik tembok tinggi yang sunyi, Lapas Kelas IIA Kendari menyimpan sebuah kisah pelan namun pasti: tentang puluhan lelaki yang sedang merajut kembali hidupnya yang pernah koyak karena narkotika.

Bukan dengan mimpi kosong, tapi dengan disiplin, pembinaan mental, dan niat untuk pulih. Program rehabilitasi berbasis Therapeutic Community (TC) yang mereka jalani, bukan sekadar rutinitas harian, melainkan benang-benang harapan yang disulam di atas jeruji baja.

Setiap pagi, 50 warga binaan yang tergolong sebagai “klien” kasus narkotika, memulai hari mereka dengan salat subuh berjamaah, membersihkan lingkungan blok, sarapan, hingga mengikuti sesi yang disebut morning meeting, yakni sebuah kegiatan harian di mana mereka belajar mengenali diri, mengevaluasi tindakan, dan menyusun rencana.

Koordinator Humas Lapas Kendari, Mustar Taro, menyebut bahwa program ini jauh dari sekadar formalitas institusional.

“Kegiatan ini merupakan bagian dari program rehabilitasi berbasis Therapeutic Community (TC), yang diperuntukkan bagi warga binaan kasus narkotika. Saat ini, ada sekitar 50 orang yang mengikuti program ini berdasarkan hasil asesmen bersama antara asesor BNN dan Lapas Kendari. Mereka dipilih karena memenuhi sejumlah indikator, termasuk adanya inisiatif dan kesadaran diri untuk berubah,” ujar Mustar.

Di permukaan, kegiatan ini mungkin terlihat sebagai sekumpulan rutinitas harian. Namun di baliknya, ada proses penyembuhan psikologis yang mendalam.

“Banyak dari mereka kehilangan rasa percaya diri akibat kecanduan. Lewat kegiatan ini, kami coba kembalikan kepercayaan diri itu, agar mereka bisa kembali survive dan punya arah hidup yang positif,” lanjut Mustar.

Dalam morning meeting, warga binaan dilatih untuk mengungkapkan apa yang telah dilakukan dan merancang apa yang akan dikerjakan. Tidak ada hardikan saat kesalahan terjadi. Sebaliknya, mereka diajak menyadari kesalahan tanpa tekanan.

“Misalnya, jika ada yang terlambat bangun, mereka diajak untuk menyadari kesalahan sendiri tanpa harus dimarahi. Sistem ini membentuk kesadaran dan tanggung jawab dari dalam diri mereka,” kata Mustar.

Ada pergeseran paradigma besar yang terjadi dalam program ini. Di bawah kolaborasi Lapas Kendari dan BNN Provinsi Sulawesi Tenggara, pendekatan rehabilitasi tidak lagi menekankan pada hukuman semata, tapi pada pemulihan.

Asnon, salah satu konselor BNN yang terlibat langsung, menyebut mereka bukan sebagai “narapidana,” tetapi “klien.” Itu bukan sekadar penghalusan istilah, tapi cerminan dari filosofi baru: bahwa mereka sedang menjalani proses penyembuhan, bukan semata menjalani hukuman.

“Kami menyebut mereka bukan narapidana, tetapi klien. Fokus kami adalah mengedukasi mereka bahwa narkoba itu menyesatkan dan tidak memberi keuntungan apa pun. Kami ingin mereka sadar bahwa penggunaan narkoba membawa konsekuensi serius, baik secara hukum maupun sosial,” tegas Asnon.

Asnon menjelaskan bahwa program ini tidak hanya menyasar fisik, tetapi juga mental.

“Yang kami perbaiki bukan cuma fisiknya, tapi juga psikisnya. Kami ajak mereka menyadari kesalahan, menggali akar penyebab kecanduan, dan menanamkan harapan untuk hidup yang lebih baik setelah bebas nanti,” terangnya.

Proses ini, meski berlangsung dalam ruang terbatas, menunjukkan perubahan nyata.

“Alhamdulillah, sebagian besar dari mereka mulai menunjukkan kesadaran diri. Mereka tidak lagi berpikir egois, sudah mulai saling mendukung satu sama lain. Ketika ada masalah, mereka bisa menyelesaikannya secara dewasa,” tambahnya.

Perubahan itu tidak hanya terlihat dalam cara berpikir, tapi juga sikap sehari-hari. Dari perilaku yang dulunya kasar, sekarang mulai tertata.

“Yang tadinya kasar, egois, sekarang mulai bisa menahan diri. Itu kemajuan besar dan harapan kami, setelah bebas nanti mereka bisa menjadi bagian positif di masyarakat,” ujar Asnon.

LZ, salah satu warga binaan yang telah menjalani program selama enam bulan, membagikan pengalamannya yang menyentuh.

“Selama saya ikut TC, banyak perilaku pribadi saya yang berubah. Saya merasa lebih bisa mengenal diri sendiri dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Di sini, saya juga jadi rutin menjalankan ibadah lima waktu, sesuatu yang sebelumnya sering saya abaikan,” katanya.

Baginya, program di Lapas yang dihuni 822 warga binaan ini bukan sekadar ruang rehabilitasi, tetapi juga ruang refleksi.

“Bagi saya, tempat ini bukan hanya sekadar menjalani hukuman, tapi juga tempat untuk memahami kesalahan dan memperbaiki hidup. Banyak hal positif yang saya dapatkan selama ikut TC,” tandasnya.

Program TC di Lapas Kendari merupakan contoh bagaimana penjara bisa menjadi tempat lahirnya perubahan. Bukan sekadar tempat menahan tubuh, tetapi juga tempat menyembuhkan jiwa. Di balik dinding beton yang kokoh dan jeruji baja yang dingin, ada proses penyulaman nilai, harapan, dan semangat baru.

Ketika masyarakat di luar masih memandang narapidana sebagai beban atau ancaman, di sini justru mereka diajak mengenali potensi untuk berubah. Benang-benang asa itu kini tengah dirajut perlahan, dalam senyap, menuju masa depan yang meski belum pasti, setidaknya lebih layak diperjuangkan.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!