Oleh: Jaelani
Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-61 Sulawesi Tenggara (Sultra) hadir di tengah kepemimpinan baru dan lanskap pembangunan yang begitu kompleks.
Di usianya yang menginjak lebih dari enam dasawarsa, Sulawesi Tenggara telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, baik dari segi ekonomi maupun pembangunan.
Sulawesi Tenggara, merupakan daerah yang begitu “menyilaukan” dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah. Tidak sedikit orang beranggapan bahwa Sultra adalah salah satu daerah “mesin pelumas” politik nasional.
Tak bisa dimungkiri, sektor pertambangan turut memberi andil dalam geliat perputaran ekonomi di Bumi Anoa, selain sektor lain tentunya.
Namun sejauh ini, kehadiran tambang dengan label “keuntungan” besar, berjalan beriringan dengan tekanan terhadap kelestarian lingkungan, kerusakan hutan dan sumber daya air yang krusial bagi kehidupan masyarakat.
Wajah pemberitaan belakangan ini menunjukkan bahwa daerah-daerah dengan potensi pertambangan mengalami bencana lingkungan dan kemanusiaan yang menyayat hati.
Di pulau kecil di Kabaena misalnya, beberapa anak dilaporkan meninggal terjatuh di laut yang keruh yang diduga telah tercemar sedimen lumpur nikel.
Kondisi yang sama terjadi di pulau kecil lainnya, Pulau Wawonii. Sungainya sudah tidak sejernih dulu lagi. Bentang alamnya mulai berubah seiring hadirnya industri ekstraktif di daerah itu.
Di daratan Konawe tidak kalah dahsyatnya. Setiap musim hujan tiba, bencana seakan menjadi alarm yang sewaktu-waktu datang begitu cepat.
Begitu pula di Kabupaten Kolaka yang saat ini menjadi pusat perayaan HUT Sultra ke-61. Ratusan hektare sawah pernah rusak akibat lumpur tambang nikel.
Segala peristiwa yang tergambar dalam pemberitaan di atas, pangkalnya adalah deforestasi dan degradasi lingkungan yang memperparah laju perubahan iklim secara cepat.
Berbagai dampak perubahan iklim dirasakan nyata oleh masyarakat saat ini. Mulai dari meningkatnya intensitas bencana alam, hingga terganggunya ekosistem dan keseimbangan ekologis yang vital.
Kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekstraktif ini nyatanya tidak hanya mengorbankan keselamatan harta dan nyawa manusia, tetapi juga turut mengancam ketersediaan dan ketahanan pangan kita.
Dari berbagai penelitian, maraknya aktivitas pertambangan seringkali membawa konsekuensi berupa alih fungsi lahan produktif pertanian, pencemaran sumber air yang digunakan untuk irigasi dan konsumsi, serta kerusakan ekosistem yang mendukung keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan alternatif.
Untuk itu, di tengah tantangan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi, harusnya menjadi refleksi bersama dalam mendorong kesadaran dan tindakan nyata memperkuat ketahanan pangan yang berkelanjutan.
Setidaknya, perlunya evaluasi efektivitas kebijakan pembangunan yang ada, terutama yang berkaitan dengan perizinan pertambangan, pengelolaan hutan, dan perlindungan lahan pertanian.
Termasuk pentingnya menyuarakan kebijakan yang lebih tegas dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam setiap aspek pembangunan.
Kolaborasi Semua Pihak
Dalam mewujudkan ketahanan pangan di tengah tantangan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, diperlukan kolaborasi yang erat antara pemerintah daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan masyarakat lokal.
HUT Sultra ke-61 kali ini mestinya tidak hanya sebagai perayaan seremonial belaka, melainkan menjadi platform untuk memperkuat dialog dan kemitraan yang konstruktif dari semua stakeholder.
Mulai dari membangun kesadaran pentingnya ketahanan pangan, dampak kerusakan lingkungan terhadap ketersediaan pangan serta upaya bersama mendorong pelestarian lingkungan dan praktik pertanian berkelanjutan.
Dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan tersebut, dibutuhkan kehadiran pemerintah dalam hal inovasi, keberpihakan kebijakan dan penggunaan teknologi keberlanjutan di sektor pangan.
Sistem pertanian kita saat ini harus lebih dimodernisasi melalui teknologi agar hasilnya lebih efisien, ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim.
Tidak kalah pentingnya adalah pemanfaatan varietas pangan lokal yang tentunya tahan terhadap kondisi perubahan iklim. Termasuk pemberdayaan petani lokal dalam bentuk dukungan akses modal, pelatihan, pasar yang adil dan hak atas lahan. Sebab, kesejahteraan petani lokal merupakan fondasi ketahanan pangan secara nasional.
Untuk itu, pada momentum HUT Sultra ke-61 ini tidak boleh lewat begitu saja. Perlu adanya konsensus bersama dalam mewujudkan perubahan paradigma pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dan keberlangsungan kehidupan generasi ke generasi.
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi harus seiring sejalan dengan kelestarian lingkungan dan penguatan ketahanan pangan. Bukan sebaliknya. Pembangunan didorong melalui pertumbuhan ekonomi yang malah mengorbankan masa depan anak cucu kita.
*) Penulis adalah Anggota DPR RI Dapil Sulawesi Tenggara Sekaligus Ketua DPW PKB Sulawesi Tenggara.