Visum Sebelum Laporan? Kuasa Hukum AL Nilai Dakwaan JPU di Muna Rancu

Sidang lanjutan kasus dugaan pencabulan anak di bawah umur di Pengadilan Negeri Raha, Rabu (30/4). Foto: Dok. Istimewa.

Muna – Sidang lanjutan perkara dugaan persetubuhan dan pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan terdakwa AL, mantan Kepala Desa Matombura, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Raha, Rabu (30/4/).

Sidang kali ini diwarnai pengajuan eksepsi dari tim kuasa hukum terdakwa yang menuding dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cacat hukum dan penuh kejanggalan.

Dalam pembacaan eksepsi, penasihat hukum AL, Muhammad Saddam Safa, secara tajam menyoroti visum et repertum yang digunakan JPU dalam menyusun surat dakwaan.

Menurutnya, dokumen tersebut tidak relevan dan menimbulkan kerancuan waktu.

“Visum et repertum Nomor 357/003/VER/2024 tertanggal 8 Januari 2024 yang sebelumnya digunakan dalam perkara La UG, kini dipakai lagi kepada terdakwa AL. Dalam perkara La UG tidak diterapkan Pasal 55 KUHP,” ujar Saddam di hadapan majelis hakim.

Ia menegaskan, visum yang digunakan seharusnya tidak bisa dipakai untuk perkara yang berbeda, apalagi waktu pelaporan tidak sesuai dengan tanggal visum.

“Seharusnya visum tersebut tidak boleh digunakan lagi. Karena sangat janggal jika terdakwa AL dilaporkan di Polres Muna tanggal 22 Januari 2024, tetapi visumnya tertanggal 8 Januari 2024,” tegasnya.

“Orang divisum duluan sebelum melakukan tindak pidana, ini kan rancu,” ketus Saddam.

Kritik terhadap dakwaan juga dilontarkan penasihat hukum lainnya, La Ode Sardin.

Ia menyebut surat dakwaan disusun berdasarkan berkas penyidikan yang cacat hukum, baik secara prosedural maupun substansi.

“Surat dakwaan disusun berdasarkan berkas penyidikan yang cacat hukum. Dakwaan JPU tidak diuraikan secara jelas dan lengkap unsur-unsur pasal yang didakwakan terhadap terdakwa,” ungkap Sardin.

Ia menilai surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

“Tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap,” tambahnya.

Sementara itu, anggota tim kuasa hukum lainnya, La Saniati, menyoroti pelanggaran hak-hak terdakwa dalam proses pelimpahan perkara.

Ia menyebut pelimpahan dari penyidik ke jaksa dilakukan tanpa pendampingan hukum dan disertai keterlambatan penyerahan surat dakwaan.

“Terdakwa AL pada tahap pelimpahan dari penyidik kepada penuntut umum pada tanggal 14 April 2024 tidak didampingi penasihat hukum. Ini bertentangan dengan Pasal 114 KUHAP jo Pasal 56 KUHAP,” bebernya.

“Terdakwa baru menerima surat dakwaan pada hari pembacaan dakwaan, bukan pada saat pelimpahan perkara,” sambung Saniati.

Kejanggalan lainnya diungkap penasihat hukum Suiki, yang menyoroti perbedaan keterangan tempat dan waktu kejadian dalam laporan polisi dan surat dakwaan.

“Locus delicti dalam laporan polisi disebutkan terjadi di depan rumah anak korban, sedangkan dalam surat dakwaan JPU disebutkan di kebun kopi,” tegas Suiki.

Ia juga menyoroti perbedaan tanggal kejadian.

“Tempus delicti dalam laporan polisi tertulis bulan November 2023, tapi dalam dakwaan disebutkan Desember 2023. Ini tidak sesuai dengan fakta dalam laporan polisi,” lanjutnya.

Menurut Suiki, perbedaan tersebut memperkuat alasan bahwa surat dakwaan JPU harus dinyatakan batal demi hukum.

Majelis hakim menetapkan sidang akan dilanjutkan pada Rabu, 7 Mei 2025, dengan agenda replik dari Jaksa Penuntut Umum atas eksepsi tim kuasa hukum terdakwa.


Editor: Denyi Risman

error: Content is protected !!
Exit mobile version