Kendari – Seorang karyawan kontrak di RS PMI Sulawesi Tenggara (Sultra), Aris, mengungkapkan ketidakadilan yang dialaminya terkait pemotongan gaji dan pemutusan kontrak kerja secara sepihak.
Aris, yang telah bekerja di rumah sakit tersebut sejak September 2023, mengungkapkan bahwa gajinya dipotong hingga 50 persen tanpa ada pemberitahuan atau kesepakatan sebelumnya.
Aris menjelaskan bahwa ia pertama kali mengetahui adanya pemotongan gaji pada 6 Agustus 2024, hanya beberapa hari sebelum kontraknya diputus.
“Saya baru tahu pada 6 Agustus 2024. Sebelumnya, tidak pernah ada pembahasan soal pemotongan gaji ini dalam kontrak kerja kami,” ungkap Aris, Minggu (11/8).
Menurut Aris, pemotongan gaji tersebut tidak tercantum dalam kontrak kerja yang ditandatanganinya. Pihak manajemen mengklaim bahwa pemotongan gaji telah dibahas saat orientasi, tetapi Aris menegaskan bahwa ia tidak ikut serta dalam orientasi tersebut, dan bahkan rekan-rekannya yang hadir tidak pernah mendengar adanya pembahasan tersebut.
“Tidak ada. Pihak manajemen mengklaim bahwa pemotongan gaji itu telah dibahas saat orientasi, tetapi saya tidak ikut serta dalam orientasi tersebut. Bahkan teman-teman yang ikut juga tidak pernah mendengar adanya pembahasan tentang pemotongan gaji 50 persen,” jelas Aris.
Gaji yang seharusnya diterima Aris berdasarkan golongan 2A dari standar ASN adalah Rp2.184.000, namun setelah dipotong, ia hanya menerima Rp1.092.000. Bahkan jumlah tersebut masih dipotong lagi untuk pembayaran BPJS sebesar Rp 32.000.
“Dampaknya sangat berat, saya merasa sangat terbebani secara finansial,” kata Aris.
Aris dan rekan kerjanya, Faisal, memutuskan untuk memprotes kebijakan ini karena merasa diperlakukan tidak adil. Mereka didukung oleh beberapa karyawan lain, meski banyak dari mereka yang takut untuk berbicara.
Aris menjelaskan bahwa langkah pertama yang mereka ambil adalah meminta slip gaji, di mana tertera jumlah gaji yang jauh lebih kecil dari yang seharusnya. Namun, pihak manajemen hanya memberikan penjelasan lisan tanpa menunjukkan bukti tertulis yang mendukung pemotongan tersebut.
Pemutusan kontrak kerja Aris dilakukan secara lisan oleh Kepala Sub Bagian Kepegawaian, Fikri, yang menyatakan bahwa Aris telah melakukan banyak kesalahan, meski tidak ada bukti yang jelas. Aris juga disalahkan karena dianggap sering tidak berada di tempat, padahal ia selalu berada di area rumah sakit.
“Tidak ada negosiasi atau solusi yang ditawarkan. Kontrak saya diputus secara lisan oleh Kepala Sub Bagian (Kasubag) Kepegawaian, Fikri, yang menyatakan bahwa saya telah melakukan banyak kesalahan, meski tidak ada bukti yang jelas,” tutur Aris.
Menanggapi pemutusan kontrak yang sepihak ini, Aris berencana untuk menuntut hak-haknya dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan aksi protes bersama mahasiswa jika pihak manajemen tidak merespons.
“Saya berharap hak-hak saya dipenuhi. Jika pihak manajemen tidak merespons, saya terpaksa akan melakukan aksi bersama adik-adik mahasiswa,” ujarnya.
Aris juga mengkritik sistem ketenagakerjaan di RS PMI Sultra, khususnya dalam hal pengelolaan gaji. Ia mengungkapkan bahwa selama 11 bulan bekerja, ia dan rekan-rekannya hanya menerima gaji yang jauh di bawah standar UMR, meskipun sudah dijanjikan kenaikan gaji.
“Masalah utamanya ada pada pengelolaan gaji. Kami sudah menunggu selama 11 bulan untuk mendapatkan gaji yang normal, tetapi hasilnya jauh dari harapan, bahkan di bawah standar UMR,” tegas Aris.
Saat ditanya apakah ia akan kembali bekerja di RS PMI jika diberikan tawaran dengan syarat yang lebih baik, Aris dengan tegas menolak. “Tidak, saya tidak akan kembali,” jawabnya singkat.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak RS PMI Sultra terkait pemotongan gaji dan pemutusan kontrak kerja yang dialami oleh Aris.
Jurnalis Sultranesia.com sudah menghubungi Direktur RS PMI Sultra, dr Syahid Khairullah, melalui panggilan telepon dan pesan WhatsApp beberapa kali namun belum mendapatkan tanggapan. Begitu pula Kasubag Kepegawaian, Fikri, juga tidak merespons panggilan telepon dan pesan wartawan.
Laporan: Denyi Risman