Kendari – Riak politik internal Partai Golkar Sulawesi Tenggara (Sultra) menjelang Musyawarah Daerah (Musda) XI semakin mengeras. Dukungan terbuka Irham Kalenggo terhadap Herry Asiku seolah mempercepat pematangan arah dukungan.
Namun, di balik gemuruh dukungan itu, muncul gelombang penyeimbang dari sejumlah tokoh senior partai yang menolak menjadikan Musda sebagai seremoni pengukuhan kekuasaan semata. Bagi mereka, Musda adalah panggung perebutan tahta yang sah. Ini adalah ajang evaluasi, bukan aklamasi.
Salah satu suara kritis datang dari mantan Ketua Harian DPD I Golkar Sultra, LM Bariun. Kini menjabat sebagai Direktur Pascasarjana Unsultra, Bariun mengingatkan bahwa mengerucutnya satu nama tidak boleh mengaburkan prinsip keterbukaan partai.
“Golkar ini kan partai terbuka, semua kader punya hak yang sama untuk mencalonkan sebagai ketua,” tegas Bariun, Selasa (8/4).
Ia bahkan menyebut beberapa tokoh yang dinilai memiliki kapasitas untuk ikut bertarung di Musda. Di antaranya Irham Kalenggo (Konawe Selatan), Aksan Jaya Putra (Kota Kendari), Abu Hasan (Buton Utara), La Ode Darwin (Muna Barat), serta LM Inarto sebagai representasi kader muda.
Menurut Bariun, jika Herry Asiku dianggap berhasil, sah-sah saja diberi mandat ulang. Namun jika tidak, Golkar masih memiliki banyak stok alternatif.
“Tapi jika tidak atau ada pilihan lain selain Pak Herry, masih ada kader potensial yang lain untuk memimpin Golkar Sultra,” ujar Bariun lugas.
Pernyataan tersebut bukan tanpa konteks. Ada bayang-bayang kuat yang masih memengaruhi dinamika Musda, yakni sosok Ridwan Bae. Mantan Ketua DPD I dua periode itu dianggap masih memiliki posisi sebagai king maker, meski arah dukungannya disebut Bariun masih cair.
“Tapi saya lihat, dukungan Pak Ridwan Bae situasional,” katanya.
Bariun juga menyinggung pentingnya pemimpin Golkar ke depan yang adaptif terhadap perkembangan zaman, khususnya dinamika kekuatan generasi muda yang kian relevan dalam peta politik.
“Tentunya pemimpin nantinya harus mengikuti perkembangan zaman,” tandasnya.
Di sisi lain, Ketua Panitia Musda XI Golkar Sultra, Abu Hasan, melempar pendekatan berbeda yang lebih struktural. Ia menolak pendekatan populer berbasis nama semata, dan mendorong elaborasi atas kriteria kepemimpinan yang terukur dan objektif.
“Kalau sudah ada nama-nama, tidak sulit menemukan sosok figur terbaik. Salah satunya tinggal membandingkan antara Pak Herry dengan yang lain,” kata Abu Hasan, Rabu (9/4).
Mantan Bupati Buton Utara ini menggarisbawahi lima indikator utama dalam memilih pemimpin Golkar. Indikator tersebut meliputi rekam jejak PLTD (prestasi, loyalitas, dedikasi, tidak tercela), pengalaman manajerial, capaian politik, kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual, serta kekuatan jaringan dengan DPD II dan DPP.
“Bagi saya, menentukan kriteria untuk dielaborasi jauh lebih penting ketimbang menyebut nama-nama hanya karena kepentingan, pertimbangan subyektivitas sesaat, atau pragmatisme, transaksionalisme, materialisme,” terangnya.
Pernyataan Abu Hasan dapat dibaca sebagai sikap kehati-hatian panitia. Ia menjaga netralitas, namun tetap mendorong kualitas dan integritas sebagai parameter utama dalam memilih pemimpin.
Musda XI Partai Golkar Sultra bukan sekadar urusan siapa yang terpilih. Ini tentang bagaimana partai menempatkan nilai dalam proses politiknya. Akankah ini menjadi arena perebutan tahta yang sehat, atau justru panggung simbolik di bawah bayang-bayang sang king maker?
Editor: Denyi Risman